[Monzer Kahf] - Struktur Pasar : Kerjasama Bebas

Posted by


Monzer Kahf termasuk orang pertama yang mengaktualisasikan analisis penggunaan beberapa institusi Islam, seperti zakat terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, investasi, konsumsi dan pendapatan[1] menulis artikel tentang mekanisme dan struktur pasar berdasarkan tuntunan ajaran Islam, yang berjudul “Market Structure: Free Co-Operation” atau “Struktur Pasar: Kerjasama Bebas”. Berikut akan disampaikan ringkasan dari artikel beliau.

Pada awal tulisannya, beliau menjelaskan tentang ekonomi kapitalis, sistem ekonomi yang diaplikasikan dalam pasar persaingan sempurna. Pasar ini adalah pasar yang penuh dengan prinsip kebebasan, di mana produsen dan konsumen bebas keluar masuk dan bebas mendapatkan informasi yang kesemuanya itu dijamin oleh pemerintah. Harga ditentukan secara murni oleh pengaruh pasar hingga memungkinkan untuk mencapai tingkat yang serendah mungkin.

Namun sistem ekonomi kapitalis ini gagal bertahan dari serangan sosialis yang berteori bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian adalah hal yang harus dilakukan. Kebebasan sistem kapitalis dalam pasar menyebabkan penindasan pemilik sarana produksi kepada kaum proletar. Hingga di awal 1930-an Chamberlain menentang sistem bebas tersebut dan mengklaim bahwa individu tidak bisa semena-mena mengatur harga pasar. Awalnya sosialis sukses di Uni Soviet, namun akhirnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain yang mengarah bahwa sistem ekonomi sosialis tidak sepenuhnya mewakili kesejahteraan rakyat secara optimal.

Dalam ekonomi Islam, prinsip yang dianut dalam struktur pasar adalah kebebasan ekonomi. Setiap individu memiliki tanggung jawab sekaligus kebebasan, dalam arti tanggung jawab seorang Muslim harus didasarkan pada berbagai kebebasan. Karena kebebasan adalah cerminan dari tanggung jawab, semakin tanggung jawab ditekankan, semakin adanya penekanan pula pada kebebasan.

Sepanjang sejarah masyarakat Muslim, kebebasan ekonomi dalam Islam telah dijamin oleh tradisi masyarakat dan sistem hukum. Rasululllah saw menolak ketika diminta untuk menentukan harga ketika sedang terjadi kenaikan harga-harga di pasar. Karena yang terjadi saat itu adalah kenaikan harga murni karena faktor supply dan demand, bukan karena adanya monopoli atau monopsoni. Jika Rasul menentukan harga, hal itu akan memaksa produsen untuk  merugi karena harus menjual barang dengan harga yang lebih rendah.  Setelah masa Rasulullah, khalifah-khalifah setelahnya membentuk lembaga Hisbah yang berfungsi untuk mengontrol perilaku-perilaku di pasar. Lembaga ini diketuai oleh al-Muhtasib.

Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa individu sepenuhnya berkuasa untuk mempertahankan harta benda mereka, dan tak seorang pun berhak untuk mengambil seluruh atau sebagian dari harta benda tersebut tanpa persetujuan mereka, kecuali di beberapa kasus yang dijelaskan secara rinci di mana mereka boleh melepaskannya.

Maulana Abul A’la al-Maududi pun menyatakan pendapatnya bahwa dalam Islam, individu adalah pihak yang paling penting, bukan komunitas atau negara seperti prinsip kaum sosialis. Individu tidak harus melayani masyarakat, namun masyarakatlah yang seharusnya melayani individu.

Perekonomian dalam Islam adalah perekonomian yang bebas, namun kebebasan yang diperlihatkan dalam kerjasama.  Individualisme dan kesadaran sosial saling terjalin dengan erat sehingga bekerja untuk kesejahteraan orang lain adalah hal yang paling menjanjikan untuk memperluas kebermanfaatan seseorang dan merupakan hal yang disukai Allah.

Namun Islam tidak melarang keterlibatan pemeriintah di pasar. Islam memandang pemerintah hadir berdampingan dengan unit perekonomian, tidak mendominasi satu sama lain. Peran pemerintah di pasar sebagai perencana, produsen, penjamin dan pengontrol serta pengawas.
  1. Pemerintah sebagai perencana. Islam tidak mengakui invisible hands seperti yang diagung-agungkan oleh sistem kapitalis, sehingga produksi dan ditribusi harus diatur untuk mencapai pola yang sesuai dengan norma dan ajaran Islam. Pemerintah dapat mendistribusikan ulang pekerjaan di antara industri-industri pada kuota tertentu.
  2. Pemerintah sebagai produsen. Pemerintah berhak menguasai sumber-sumber daya yang penting bagi hajat masyarakat banyak, seperti air, api dan padang rumput, atau jika disesuaikan dengan konteks saat ini, perusahaan listrik, air dan pertambangan. Individu tidak berhak memiliki sumber daya ini dan tidak sah bagi pemerintah untuk mengizinkannya.
  3. Pemerintah sebagai penjamin. Jaminan sosial dari pemerintah dalam mekanisme pasar, sangatlah penting. Hal ini berdasarkan dua hal; tanggung jawab bersama dan jaminan sosial. Tanggung jawab bersama ditanggung oleh setiap umat Muslim melalui instrumen zakat. Pemerintah mengkoordinir lembaga yang bertanggung jawab mengurusi hal ini. Kemudian jaminan sosial ialah hak bagi publik untuk mendapatkan santunan dari pendapatan negara.
  4. Pemerintah sebagai pengontrol dan pengawas. Dua jenis kontrol yang dilakukan pemerintah adalah yang ditujukan untuk meningkatkan pemenuhan tujuan negara dan yang dilakukan oleh agen independen (al-Hisbah) yang berfungsi untuk menjaga aturan-aturan permainan dalam pasar. Negara selalu menjadi partisipan aktif dalam kehidupan perekonomian dan fungsi mekanisme pasar tidak pernah bergantung sepenuhnya kepada negara.
Islam memiliki aturan-aturan tertentu dalam perekonomian, yakni serangkaian perintah dan peraturan sosial, politik, agama, moral dan hukum yang harus dilaksanakan oleh masyarakat. Monzer Kahf menjabarkan aturan-aturan yang harus dipenuhi tersebut sebagai berikut:
  1. Keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah, manusia hanyalah seorang khalifah yang diberikan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan dan kemanfaatan dari sumber daya yang telah dianugerahi Allah.
  2. Setiap Muslim memiliki kebebasan namun tidak boleh mengorbankan hak-hak orang lain. Segala perilaku manusia yang terkait dengan masalah-masalah sosial harus dipertanggung jawabkan kepada Allah dan menjadi kewajibannya terhadap masyarakat.
  3. Seluruh umat manusia bergantung pada Allah. Semakin baik orang tersebut kepada hamba-hamba Allah, semakin ia dicintai oleh Allah. Semua orang bertanggungjawab secara pribadi atas kemajuan komunitas dan penghilangan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
  4. Tidak ada hak istimewa yang spesifik terhadap individu atau negara tertentu sejauh urusan kekhalifahan. Namun bukan berarti bahwa umat manusia harus atau sebaiknya sejajar dalam keuntungan yang mereka peroleh dari bumi. Mereka hanya sejajar dalam kesempatan, dan setiap orang mengambil sebanyak mungkin keuntungan sesuai dengan kemampuannya.
  5. Martabat manusia adalah sama. Hak dan kewajiban ekonomi setiap individu sesuai dengan kemampuannya dan peran normatif masing-masing di dalam struktur sosial.
  6. Dalam Islam, bekerja dianggap sebagai kebajikan dan kemalasan sebagai sifat buruk. Merupakan suatu kewajiban masyarakat dan badan perwakilannya untuk menyediakan kesempatan bekerja bagi individu.
  7. Ajaran-ajaran Islam memandang kehidupan manusia di dunia ini sebagai perlombaan terhadap waktu. Masa hidup manusia sangatlah terbatas dan ada banyak peningkatan-peningkatan luar biasa yang akan dirasakan di dalam keterbatasan waktu tersebut. Peningkatan dan perbaikan dalam diri mereka sendiri adalah tujuan dari proses ini.
  8. No harm, no injury. Laa dharaara, wa laa dhiraara. Tidak boleh menyakiti dan tidak boleh tersakiti. Ini adalah hadis Nabi yang menyatakan bahwa tidak boleh bertindak zhalim yang dapat merugikan orang lain dan manusia harus sebisa mungkin menghindar dari kezhaliman.
  9. Harus ada hukum sebagai institusi sosial yang mendukung agar individu dapat melaksanakan kebaikan-kebaikan.

Dalam pembahasannya yang terakhir, Monzer Kahf berkomentar tentang tiga hal. Pertama, tentang harga yang adil. Ia lebih menyukai frase ‘harga keseimbangan’ daripada ‘harga adil’ karena lebih cocok dengan tradisi ilmu hukum Islam dan menunjukkan konteks konseptual dengan lebih memuaskan. Kedua, bahwa mekanisme pasar dalam Islam bukan berarti merupakan struktur terpecah. Akumulasi kekayaan mungkin saja terjadi sepanjang tidak melalui metode yang dilarang dan tidak melanggar prinsip-prinsip kebabasan dan kerjasama. Campur tangan pemerintah dalam hal ini dapat berupa pengambil-alihan terhadap produksi yang dimonopoli  atau penentuan harga. Ketiga, tentang teori nilai. Segala sesuatu yang dilarang digunakan dalam Islam (barang haram dan najis) otomatis tidak memiliki nilai ekonomi karena tidak berhak dijual ataupun dikonsumsi.




[1] Dr. Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta: Granada Press, 2007), h. 275.



Demo Blog NJW V2 Updated at: Kamis, Januari 15, 2015

0 komentar:

Posting Komentar