Konsep Konsumsi Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Posted by

Konsep Konsumsi Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Ada perbedaan antara konsep konsumsi yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dengan konsep konsumsi pada konvensional. Pada konsep konsumsi ekonomi konvensional, konsumsi berarti penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods and services in the satisfaction of human wants).

Berorientasi pada ego dan rasionalitas. Kebutuhan dalam Ilmu ekonomi konvensional, selalu didefinisikan sebagai keinginan untuk memperoleh suatu sarana tertentu, baik berupa barang maupun jasa.

Konsep konsumsi Al-Ghazali adalah (al-hajaah) penggunaan barang atau jasa dalam upaya pemenuhan kebutuhan melalui bekerja (al-iktisaab) yang wajib dituntut berlandaskan etika dalam rangka kemashlahatan menuju akhirat.

Konsumsi berkaitan dengan konsep kebutuhan (needs), keinginan (wants) dan nafsu. Konsep konsumsi dalam Islam mengatur tentang apa-apa saja yang boleh dikonsumsi dan apa-apa saja yang tidak boleh dikonsumsi. Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya jilid III bahwa konsumsi dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah..

Imam Al-Ghazali membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mejalankan fungsinya.

Dalam ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.

Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan (raghbah dan syahwat) dan kebutuhan (hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.

Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional.

Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja. Imam Ghazali lahir di Tus (kota kecil di Iran) pada tahun 450 H dan meninggal sekitar 55 tahun setelahnya (505 H). Nama lengkapnya Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali. Beliau mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi: (1) mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan; (2) mensejahterakan keluarga; (3) membantu orang lain yang membutuhkan. Salah satu, pemikiran ekonomi Imam Ghazali yang terkenal adalah tentang teori konsumsi. Imam Ghazali dengan sangat rinci menjelaskan bagaimana konsumsi dapat memengaruhi ekonomi secara mikro maupun makro. Dalam pengertian mikro, beliau mengaitkannya dengan konsep kebutuhan (hajat), keinginan (raghbab), dan nafsu (syahwat). Dalam kitabnya, Ihya, beliau berusaha menjelaskan bahwa bagaimana memenuhi hajat itu tidak sekedar hanya “memenuhi”, tetapi bagaimana dalam rangka “memenuhi” kebutuhan tersebut kita tetap berada dalam koridor ibadah sehingga tetap mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Imam Ghazali membedakan dengan jelas antara keinginan dan kebutuhan. Menurut Imam Ghazali, kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Beliau tidak hanya memandang sebuah kebutuhan sebagai sesuatu yang independen dan objektif, namun juga sesuatu yang subjektif.

Seorang individu harus mengetahui bahwa tujuan utama manusia diciptakan dengan nafsu adalah untuk menggerakkannya mencari sesuatu yang ia butuhkan dan pada akhirnya kebutuhannya terpenuhi sehingga ia dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah, yaitu beribadah. Hal ini jauh berbeda dengan konsep tujuan manusia diciptakan dari sudut pandang ekonomi konvensional. Ekonomi konvensional tidak menghiraukan hubungan tujuan penciptaan manusia dengan kegiatan pemenuhan kebutuhannya. Mereka menyamakan kebutuhan dengan keinginan. Penyamaan arti antara kebutuhan dan keinginan akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Munculnya ilmu ekonomi konvensional itu sendiri diyakini oleh para penggagasnya (raison d’etre) karena terjadi kesenjangan antara sumber-sumber daya yang tidak terbatas (unlimited resources).

Imam Ghazali, dalam bukunya Ihya, membagi tingkatan konsumsi yaitu sadd ar-Ramq dan ini disebut juga had ad-dhorurah, had al-hajah, dan yang tertinggi had at-tana’um. Yang dimaksud dengan had ar-ramq atau batasan darurat adalah tingkatan konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Tingkatan tana’um digambarkan bahwa individu pada tahapan ini melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebutuhannya, tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang dan bernikmat-nikmat. Antara had ad-dhorurah dengan tan’um terdapat area yang sangat luas disebut had al-hajah di mana keseluruhannya halal dan mubah. Ketiga tingkatan konsumsi tersebut lebih dikenal dengan daruriat (kebutuhan), hajaat (kesenangan atau kenyamanan), dan tahsinaat (kemewahan). Meskipun daruriat merupakan tingkat pertama di mana manusia mampu bertahan hidup apabila memenuhinya, namun Imam Ghazali mengkritik “Jika orang-orang tetap tinggal pada tingkatan subsisten (sadd al ramaq) dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat”. Lebih lanjut, Imam Ghazali menjelaskan bahwa tingkatan konsumsi tersebut merupakan kunci pemeliharaan lima tujuan dasar suatu masyarakat (individu) dalam meningkatkan kesejahteraan. Lima tujuan dasar yang terkenal sebagai kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial itu adalah (1) agama (al-dien), (2) hidup atau jiwa (nafs), (3) keluarga atau keturunan (nasl), (4) harta atau kekayaan (maal), (5) intelek atau akal (aql). Beliau menitikberatkan bahwa sesuai tuntutan wahyu, “kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya. Konsep yang diungkapkan Imam Ghazali tersebut disebut juga konsep maslahat atau kesejahteraan sosial atau utilitas (kabaikan bersama). Konsep tersebut telah menjadi sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan menjadi acuan utama dalam teori konsumsi Islam.

Dalam ilmu ekonomi konvesional, konsumsi diartikan penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods and services in the satisfaction of human needs). Dalam ekonomi konvensional, seorang individu (konsumen) didasari pada prisip-prinsip dasar ultilitarianisme yaitu tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri, artinya pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk melakukannya. John Stuart Mill dengan konsep “freedom to act” berpendapat bahwa campur tangan negara di dalam masyarakat mana pun harus diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan manusia merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan karena itu harus dihentikan. Konsep itulah yang mendasari ekonomi modern yang berkembang sampai saat ini. Jelaslah bahwa rasionalitas dalam hal ini sangat diutamakan.

Dari perbedaan di atas tentu saja konsep konsumsi milik Imam Ghazali jauh berbeda dengan konsep konsumsi pada ekonomi konvensional. Ekonomi konvensional lebih mengedepankan kebebasan dalam bertindak hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dibedakan dengan keinginan. Berbeda dengan konsep konsumsi Imam Ghazali yang secara jelas membedakan esensi dari kebutuhan dan keinginan. Imam Ghazali juga secara tersirat memberitahukan bahwa apa yang dilakukan saat ini (berkonsumsi) haruslah membawa dampak tidak hanya bagi diri sendiri namun juga membawa maslahah (kesejahteraan) bagi sekitar, yang secara linear hal itu menjadi salah satu jalan untuk beribadah kepada Allah SWT.



Demo Blog NJW V2 Updated at: Kamis, Januari 08, 2015

0 komentar:

Posting Komentar