Hukum-Hukum Syariah, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih

Posted by

Hukum-Hukum Syariah, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang masalah

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna serta diberikan kelebihan akal dan fikiran yang tidak dimiliki makhluk Allah lainnya.Kesempurnaan manusia ini, tentunya menuntut sebuah konskuensi tugas yang harus diemban oleh manusia yang diciptakan Allah sebagai Khalifah di muka bumi ini.Wujud pengabdian manusia sebagai makhluk kepada khaliqNya tentunya melaksanakan ibadah sesuai syariat yang ditentukan. Ibadah yang benar, tentunya memerlukan sebuah pedoman atau tuntunan agar terhindar dari kekeliruan.

Sebagai umat Islam, tunanan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan termasuk didalamnya tuntunan ibadah yang benar, sudah jelas terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Al-Qur’an sebagai sumber pokok hukum Islam yang pertama dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas dan menetapkan yang belum disebut dalam Al-Qur’an.

Al-Quran dan hadis yang sampai kepada kita masih otentik dan orsinil.Orsinilitas dan otentisitas didukung oleh bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena Al-Quran dan hadis merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum. Untuk memahami hukum-hukum tidak cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk saja, melainkan memerlukan cara khusus untuk memahaminya yang disebut Ilmu Ushul fiqh[1].

Di antara sekian banyak wilayah cakupan ushul fiqh yang amat penting untuk diketahui adalah konsep tentang hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum alaih. Sebab sebelum seseorang terjun untuk menjawab persoalan sebuah hukum, ia diharuskan untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum, kemudian siapa pembuatnya dan siapa obyeknya.

Berpijak dari hal di atas, maka dalam makalah sederhana ini akan dieksplorasi secara komprehensif tentang istilah-istilah tersebut yang meliputi hakim, hukum, mahkum fih dan mahkum alaih.


PEMBAHASAN

A.  HUKUM

2.1 Definisi Hukum
Hukum merupakan bentuk jamak dari al-hukmu, bentuk mashdar dari hakama yang artinya penetapan atau putusan. Sedang menurut istilah, para ahli berbeda-beda pendapat dalam memberikan definisi, diantaranya sebagai berikut :
  1. Hukum syara’menurut istilah para ahli ushul fiqh ialah Khitab Syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan. [2]

  2. خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير او الوضع

    Khitab (firman) Allah yang berhubungan dengan tingkah laku perbuatan orang mukallaf,  baik berupa tuntutan, pilihan maupun yang bersifat wadh’i.[3]

  3. Hukum adalah kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang[4].
Dari definisi diatas sudah dapat disimpulkan beberapa rumusan pokok:
  1. Yang berhak menetapkan hukum agama adalah Allah swt., sehingga muncul لا حكم الا الله  (tidak ada yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah). Karena itulah fungsi al-Qur’an dan al-Hadits hanyalah sebagai “pemberi tahu”.
  2. Obyek hukum Islam adalah perilaku perbuatan yang sasarannya bukan pada benda atau dzat. Sedang sifat hukum hanya dikenal dalam ranah perbuatan dan tidak dapat diterapkan pada benda atau dzat.
  3. Perbuatan yang dikenai sanksi hukum adalah perbuatan orang dewasa. Sedangkan perbuatan anak kecil, orang gila, orang dalam kondisi dipaksa dan sebagainya tidak dikenakan sanksi.
  4. Bahwa hukum Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu: Hukum Taklifi, dan Hukum Wadh’i, sehingga kata الإقتضاء  dapat mencakup hukum ijab, tahrim, nadb, dan karahah. Dan kata تخيير hanya mencakup hukum ibahah. Sedang kata الوضع bisa mencakup adanya pengertian hukum wadh’i yang terbagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, dan mani’. Bahkan Abdul Wahbah Khalaf menyebutkan ada tujuh dengan menambahkan, rukhsah, ‘azimah, fasid, dan shahih.
Untuk lebih memperjelas, Dari definisi hukum diatas, ada beberapa istilah yang perlu difahami maknanya yang meliputi:
  1. Khitab Allah, yang dimaksud Khitab Allah dalam definisi hukum diatas adalah semua bentuk dalil baik Al-Quran, As-Sunah maupun yang lainnya, seperti ijma dan Qiyas. Namun para ulama ushul fiqh kontemporer seperti Ali Hasballah dan Abd. Wahab Khalaf berpendapat bahwa  yang dimaksud dengan dalil disini hanya Al-Quran dan As-Sunah. Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai metode untuk menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan as-Sunah tersebut.
  2. Perbuatan Mukallaf, maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat, meliputi perbuatan hati seperti niat, dan perbuatan ucapan seperti ghibah.
  3. Imperatif (Iqtidha) maksudnya adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu,yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu memaksa maupun tidak. 
  4. Wadh’i maksudnya adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang[5].

2.2 Macam-macam Hukum
Berdasarkan pada definisi hukum syara’ dan berdasarkan istilah para ahli ilmu ushul fiqh, maka hukum dibagi menjadi dua bagian yaitu :

2.2.1 Hukum Taklifi

a. Pengertian Hukum Taklifi

الحُكْمُ التَّكْلِيْفُ هُوَ خِطَابُ اللهِ المتعلقُ بِاَفْعَالِ اْلمكَلفِيْنَ على جِهَةِ اْلاِقْتِضَاءِ اَوِ الْاِخْتِيَارِ

Hukum taklifiy adalah firman Allah (khitab Allah) yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik berdasarkan iqtidha’ atau takhyir.[6]

Prof. DR. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, beliau mendefinisikan bahwa hukum taklifiy adalah hukum yang menghendaki untuk dikerjakan oleh mukallaf, baik berupa larangan mengerjakan, atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.[7]

Berdasarkan pengertian diatas, maka hukum taklifi mengandung tiga unsur yakni tuntutan melakukan,tuntutan meninggalkan, dan pilihan untuk melakukan atau meninggalkan.

Adapun contoh-contoh hukum taklifi adalah sebagai berikut :
  • Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al Baqarah : 183.“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
  • Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan : Artinya: “Janganlah kamu mengolok-olokan kaum yang lain “ (QS Al-Hujurat ayat 11).
  • Tuntutan untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan suatu pekerjaan : ( QS An-Nisa ayat 101). “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalat…”[8]
b. Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi.Yaitu menurut Jumhur Ulama Ushul fiqih/Mutakallimin dan menurut ulama Hanafiyah. Adapun bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama’ushul fiqih/mutakalliminadalah sebagai berikut[9] :
1. Ijab; 2. Nadb; 3.  Ibahah; 4. Karahah; 5. Tahrim.

1.    Ijab (Wajib)
Ijab yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melakukan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan.Orang yang meninggalkannya dikenakan sanksi. Contoh dalam surat An-Nur : 56

Artinya : “Dan dirikanlah Shalat dan Tunaikanlah Zakat…”(QS. An-Nur ; 56)
Pada ayat diatas, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut para ahli ushul fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dan mebayar zakat.Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut (yaitu mendirikan shalat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh karena itu istilah ijab, menurut ulama ushul fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat diatas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khitabtersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh Khithab Allah.[10]

Setelah memahami definisi ijab (wajib), selanjutnya perlu dijelaskan pembagian wajib dari berbagai tinjauan.

Hukum wajib dapat dibagai menjadi beberapa segi, diantaranya segi pelaksanaannya, segi kadar kewajiban yang diperintah, bentuk perbuatan yang diperintah, pertanggungjawaban pelaksanaanya, dan dari segi tujuannya.
  1. Wajib ditinjau dari segi pelaksananya.
    Al-Wajib al-‘Aini
    Maksud al-wajib al-‘aini (kewajiban indvidu) adalah Suatu perbuatan yang dituntut sdan yar’i (Allah dan Rasul-Nya) pelaksanannya oleh setiap individu mukallaf. Wajib ‘ain bersifat individual, tanpa membedakan antara satu mukallaf dengan mukallaf yang lainnya. Wajib ain harus dilaksanakan secara sendiri, tidak boleh gugur hanya karena sudah dikerjakan oleh mukallaf yang lain. Misalnya kewajiban shalat, sebagai mana dijelaskan dalam QS. Al-‘Ankabuut:45, sebagai berikut: “Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.dan Sesungguhnya mengingat Allah(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

     Al-Wajib al-Kafa’i
    Sedangkan yang di maksud dengan al-wajib al-kafa’i (kewajiban kolektif) ialah suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i pelaksanaannya dari sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf .Wajib kifayah merupakan kewajiban secara kolektif, yakni jika seorang diantara mereka telah melakukan, maka gugurlah kewajiban semua orang.Akan tetapi wajib kifayah dapat berubah menjadi wajib ‘aini, bilamana dalam suatau wilayah atau tempat tidak ada lagi orang yang mampu melaksanakannya selain dia seorang.Misalnya, jika dalam suatu masyarakat hanya terdapat seorang yang mampu menjadi guru atau menjadi pemimpin, maka orang tersebut secara individual wajib melaksanakan kewajiban sebagai seorang guru atau sebagai pemimpin masyarakat.

  2. Wajib ditinjau dari waktu pelaksanannya.
    Ditinjau dari segi waktu pelaksanannya wajib dapat dibagai menjadi dua, yaitu:

     Al-Wajib al-Muthlaq
    Wajib muthlaq ialah Sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya.Dengan kata lain, waktu pelaksanannkewajiban ini dapat ditangguh dan dilaksanakan kapan saja seorang merasa mampu. Misalanya membayar kafarah sumpah, meng-qhada’ puasa Ramadhan karena ‘uzur, seorang dapat melaksanakan kapan saja pada waktu yang dianggapanya lapang, sebagaimana pendapat imam Hanafi.Sedangkan menurut Imam Muslim, waktu meng-qhada’ puasa adalah sebelum samapai datang waktu Ramadhan berikutnya. Jika belum terbayar makan akan terkena denda fidyah yang digandakan.[11]

    Al-Wajib al-Mu'aqqat
    Adapun yang di maksud dengan wajib mu’aqqat ialah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mukallaf pada waktu tertentu. Karena kewajiban ini tertentu pada waktunya, maka pelaksanann kewajiban ini dipandang tidak sah jika tidak dilaksanakan pada waktunya.
    Dalam hal ini, wajib mu’aqqat dibagi lagi menjadi 3 yaitu :
    Ø Al-Wajib al-Muwassa’
    Wajib muwassa’ adalah suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya lebih luas daripada ukuran waktu pelaksanaan perbuatan yang diwajibkan.[12]Misalnya waktu pelaksanaanshalat-shalat yang lima. Waktu shalat dhuhur misalanya, selain dapat dipergunakan untuk shalat dhuhur, dapat juga digunakan untuk shalat sunnah.
    Ø Al-Wajib al-Mudhayyaq
    Wajib Mudhayyaq adalah suatu kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang dipertlukan untuk pelaksanaan perbuatan yang wajib.[13] Karena waktu pelaksanaan yang tersedia sama dengan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban itu sendiri, maka disamping disamping suatu keawajiban tidak dapat dilakukan perbuatan yang sejenis. Misalnya, waktu pelaksanaan puasa Ramadhan.
    Ø Wajib dzu asy-Syibhain
    Wajib dzu asy-syibhainyaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang..Yang mana macam wajib yang ketiga ini adalah menurut kalangan Misalnya ibadah haji, ditinjau dari segi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri, yang hanya memerlukan waktu beberapa hari, waktunya disebut muwassa’, karena hanya ada beberapa bulan dalam setahun.Akan tetapi, jika ditinjau dari segi bahwa ibadah haji hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun, maka waktunya disebut mudhayyaq.

    Dalam persoalan wajib almu'aqqat para ulama’ ushul fikih juga mengemukakan bahasan tentang persoalan `ada`, i’adah, dan qadha’, yang ketiganya terkait erat dengan pelaksanaan amalan yang berstatus wajib almuaqqat.
    ‘Ada’, menurut Ibnu Al Hajib, adalah melaksanakan suatu amalan untuk pertamakalinya pada waktu yang ditentukan syara’. Apabila amalannya dikerjakan pada waktunya, bukan untuk pertama kalinya maka hal itu tidak dinamakan dengan ‘ada’.
    I’adah, adalah suatu amalan yang dikerjakan untuk kedua kalinya pada waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur.

    Qadha’ adalah suatu amalan yang dikerjakan diluar waktu yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Apabila suatu amalan wajib tidak dilaksanakan baik disengaja atau tidak, dan mempunyai kemungkinan untuk dikerjakan atau tidak seperti puasa bagi wanita haid, sakit atau bepergian, maka seluruh amalan tersebut wajib dikerjakan pada waktu yang lain. Mengerjakan amalan-amalan yang tidak pada waktunya disebut qadha’.[14]

  3. Wajib ditinjau dari perbuatan yang diperintahkan.Ditinaju dari segi perbuatan yang diperintahkan, wajib dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
    Wajib al-Mu’ayyan yang dimaksud dengan al-mu’ayyan (kewajiban tertentu) ialah suatu kewajiban yang syar’i memerintahkan untuk melakukan satu perbuatan tertentu.Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa ramadhan, kewajiban membayar zakat, berbuat baik kepada orang tua, dan memelihara anak yatim merupakan kewajiban tertentu dan spesifik.

    Al-Wajib al-MukhayyarWajib mukhayyar adalah suatu kewajiban yang syar’i memerintahakan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu.Misalnya kewajiban membayar kafarah yang terdiri atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.

  4. Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintah.
    Ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, wajib di bagi menjadi dua macam, yaitu:

    Al-Wajib Al-Muhaddad. Wajib Al-Muhaddad adalah suatu kewajiban yang syar’i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu. Misalnya ukuran kewajiban membayar zakat mall (harta) maupun zakat fitrah, dan jumlah rakaat dalam shalat.

    Al-Wajib Ghair al-Muhaddad. Wajib Ghair Al-Muhaddad adalah suatu kewajiban yang syar’i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu. Misalnya, kewajiban memberi nafkah kepada kerabat/keluarga dan penentuan hukuman dalam tidak pidana diluar hudud dan qishash  yang diserahkan kepada para qadhi(hakim).
2.    Nadb (Sunat)
Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman.Adapun yang dituntut dikerjakan disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb.[15]

Selain definisi diatas, mandub diartikan sebagaisesuatu yang dituntut oleh syari’ (Allah) untuk dikerjakan oleh mukallaf dengan perintah yang tidak pasti.”
[16]

Adapun Imam Baidhawi mendefinisikan mandub sebagai sesuatu yang dipuji pelakunya dan tidak dicela bagi yang meninggalkannya.
[17]

Ulama’ ushul membagi Mandub menjadi tiga macam :

Mandub Muakkad.
Mandub muakkad adalah sunnah yang dianjurkan untuk mengerjakannya, bagi yang melanggar tidak mendapat siksa tetapi mendapat celaan. Seperti adzan, shalat berjamaah dan lain-lain.Dan sesuatu yang sangat ditekuni oleh Rosul.Beliau tidak meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dituntut secara pasti.Seperrti berkumur, membaca surah setelah Al fatihah dalam shalat dan lain-lain.[18].
Mandub Ghoiru Muakkad.
Mandub Ghoiru Muakkadadalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa.Dalam hal ini rosul hanya melakukannya berdasarkan sukarela.[19]Seperti puasa senin kamis, shodaqah dan lain-lain.

Mandub Zaidah (sunnah tambahan).
Mandub Zaidah (sunnah tambahanadalah sesuatu yang dikerjakan Rosulullah berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak/sifat qodrat manusia. Seperti etika makan, minum, tidur, memakai pakaian dan sebagainya.[20]

3.    Mubah
Mubah adalah sesuatu yang diberikan oleh syar’i kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakannya dan meninggalkannya. Jadi, syar’i tidak menuntut supaya mengerjakan perbuatan ini dan tidak pula menuntut supaya ia meninggalkannya.[21]
Dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, ulama-ulama ushul fiqh mengemukakan mubah kedalam 3 bentuk, antara lain:
  1. Mubah yang apabila dilakukan/tidak dilakukan tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum, dan berpakaian.
  2. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Misalnya makan daging babi saat keadaan darurat.
  3. Sesuatu yang pada dasarnya sifatnya mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehungga pebuatan itu menjadi mubah. Contohnya, mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam seperti mengawini ibu tiri.
   Selain pembagian diatas, Imam Abi Ishaq Syathibi mengemukakan pembagian mubah sebagai berikut
  1. Mubah bi al-juz’i al-mathlub bi al-kulli’ala jihat ar-rujub. Artinya,  hukum mubah yang secara parsial bisa berubah menjadi wajib apabila dilihat dari keseluruhan atau kepentingan umat secara keseluruhan. Misalnya makan, minum dan berpakaian.
  2. Mubah bi al-juz’i al-mathlub bi al-kulli’ala jihat al-mandub. Artinya hukum mubah secara juz’i berubah menjadi mandub apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya dalam masalah makan dan minum melebihi kebutuhan.
  3. Mubah bi al-juz’i al-muharromah bi al-kulli. Artinya mubah yang secara juz’i bisa diharamkan apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya mencela anak dan senantiasa makan dengan makanan yang lezat-lezat.
  4. Mubah bi al-juz’i al-makruh bi al-kulli. Artinya hukum mubah bsa berubah menjadi makruh apabla dilihat dari akibat negatif perbuatan itu secara kulli. Seperti bernyanyi.[22]
4.    Karahah (Makruh)
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang di benci”. Dalam istilah ushul fiqih kata makruh, menurut mayoritas ulama ushul fiqih, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bila ditinggalkan akan mendapat pahala dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya, seperti di kemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam mazhab Hambali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan ketika akan berwudu di siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.

Definisi lain menjelaskan, bahwa makruh adalah segala sesuatu yang dituntut oleh syari’ kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak pasti.[23]
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam:
  1. Makruh Tahrim (mendekati Haram), yaitu tuntunan syariat untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntunan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: Keduanya ini (emas dan sutra) haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi wanita. (H.R. Abu Dawud, An-Nasa’i, ibn Majah Ahmad ibn Hambal).[24]
  2. Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi dengan tuntunan yang tidak pasti, seperti merokok.

5.    Tahrim ( Haram)
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya.Secara terminologi kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah secara jelas, sebagaimana definisi Abdul Wahab Khallaf sebagai berikut:Suatu tuntutan Syari’ kepada mukallaf untuk meninggalkan pekerjaan dengan tuntutan yang pasti.[25] Haram bermakna tuntutan untuk meninggalkan di mana orang yang mengerjakannya mendapat dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larangan mencuri dalam firman Allah:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. al Mai’dah : 38)

Para ulama ushul fiqh, antara lain Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang di haramkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya larangan berzina, sebagaimana dalam firman Allah: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, larangan melakukan jual beli ketika waktu azan shalat jum’at sebagaimana firman Allah: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Jumu’ah :9)
Jual beli bilamana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan Jumat karena akan melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah.[26].


2.2.2 Hukum Wadh’i
Hampir semua ulama Ushul fiqh bersepakat bahwa hukum wadh’i adalah khitab Allah (firman Allah) yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya perkara yang lain (musabbab) atau sebagai syarat bagi yang lain (masyrut) atau sebagai penghalang (mani’) adanya perkara yang lain atau menjadi sah dan batalnya sesuatu.[28]

Dari pengertian hukum Wadh’i tersebut, maka macam-macam hukum wadh’i adalah sebagai berikut:

1. Sebab
  1. Pengertian Sebab
    السبب هو ماجعله الشارع علامة عن مسببه وربط وجود المسبب بوجوده وعدمه
    Sebab adalah sesuatu yang oleh syara’ (pembuat hukum) dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjaid akibatnya, sekaligus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab dan ketiadaannya karena ketiadaan sebab.[29]
    Contoh:
    Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-Maidah: 5)

    Dengan demikian dapat diketahui bahwa sebablah yang bisa membentuk musabbab dan musabbab dilahirkan dari sebab.

  2. Macam-macam Sebab Seperti yang diterangkan di atas, garis besarnya ada dua macam, yaitu :Sebab yang tidak berasal perbuatan mukallaf, Contoh: Datangnya waktu shalat menimbulkan wajib shalat, Munculnya Bulan diawal Ramadhan menyebabkan wajibnya puasa.
    > Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf. Contoh: Adanya pejanjian jual-beli, menyebabkan adanya persetujuan kedua belah pihak untuk melakukan hak milik.[30]

2. Syarat
  1. Pengertian syarat

    Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.[31]
    Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syarat itu letaknya di luar arti hakikat sesuatu. Maka jika syarat  tidak ada, masyruth pun tidak ada, tetapi tidak mesti dengan adanya syarat, ada juga masyruth.Contoh: wudhu menjadi syarat shanya shalat.Ada wudhu, shalat sah, tetapi tidak mesti adanya wudhu menjadikan adanya kewajiban shalat.

  2. Macam-macam Syarat menjadi dua macam:

    > Syarat Haqiqi (syar’i), yaitu syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
    Syarat yang terdapat di dalam khitab taklifiy.
    Seperti menutup aurat dan wudhu untuk melaksanakan shalat. Syarat seperti ini diperintahkan untuk melakukannya;

    Syarat yang terdapat di dalam
    khitab wadh’i. Contohnya, masa haul (satu tahun) untuk kekayaan yang sudah mencapai satu nishab, sebagai syarat wajib zakat dikeluarkan. Dalam kasus ini tidak diperintahkan untuk memenuhi persyaratannya dan juga tidak dilarang.[32]
    > Syarat Ja’liy, yaitu syarat-syarat yang tidak ditentukan oleh syara’. Syarat ini terbagi menjadi tiga macam:
    - Syarat yang ditetapkan sebagai penyempurna dari hikmah perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hokum itu. Umpanya dalam perjanjian jual-beli boleh disyaratkan bahwa barang yang deperjual-belikan itu harus diantar ke rumah pembeli.
    Syarat yang tidak sesuai dengan maksud perbuatan hukum bahkan bertentangan dengan hikmahnya. Syarat seperti ini tidak berlaku, seperti dalam perjanjian kawin yang disyaratkan bahwa suami tidak berkewajiban member nafkah kepada istrinya atau suami tidak boleh mencampuri istrinya.
    Syarat yang jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Hal ini jika dalam masalah peribadatan tidak berlaku, sebab tidak ada seorang pun yang berhak unutk menetapkan syarat dalam ibadah. Namun jika terjadi dalam bidang mu’amalah dapat diterima.[33].
3. Mani'

  1. Pengertian Mani’
    Mani’ adalah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya.[34]
    Contohnya: kasus perbedaan agama antara yang mewarisi dengan yang diwarisi. Perbedaan agama sebagai mani’, akibatnya tidak mendapat bagian harta warisan, sekalipun sebabnya ada, yaitu keluarga kandung.[35]
  2. Macam-macam Mani’
    > Mani’ mengahalangi sahnya sebab lahirnya hukum. Contohnya, jual-beli orang merdeka, status merdeka sebagai mani’, yaitu orang merdeka tidak termasuk barang yang diperbolehkan dijual-belikan, akibatnya transaksi batal, sekalipun sebabnya ada, yaitu pembelian.
    >Mani’ menghalangi kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta bertransaksi.Contohnya, jual-beli barang yang bukan miliknya. Barang (milik orang lain) sebagai mani’, akibatnya transaksi tetap sah, selama pemiliknya menyetujui.
4. Azimah dan Rukhsah

العزيمة هي ما شرعه الله اصالة من الا حكام العا مة التي لا تختص بحال دون حال ولا بمكلف دون مكلفٍ

‘Azimah adalah hukum yang disyari’atkan Allah semenjak awal yang bersifat umum yang tidak tertentu pada suatu keadaan atau kasus tertentu dan tidak pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.[36]
Jadi ‘Azimah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’ kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.


4. Azimah dan Rukhsah
Cotohnya seperti, jumlah rakaat shalat Isya adalah empat rakaat. Ketetapan ini ditetapkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat tersebut. Hukum tentang jumlah rakaat shalat Isya disebut hukum ‘azimah.
[37]
Rukhsah.

Menurut para ulama ushul fiqh tentang rukhshah ialah :
اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ

Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.

Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum.Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada.

Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb (sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya.[38]

Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang umum berlaku selama ada uzur yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa sembahyang zuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat, makan bangkai di kala lapar, tak ada makanan yang lain, shalat qashar di dalam safar, dinamai : hukum rukhsah.[39]

Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa : hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya.Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan.

Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt.

. . .maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...(QS. Al Baqarah : 173)


Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan.Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bilaberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.
[40]

Bersabda Nabi Saw:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَر)
Tidak dipandang kebajikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secaraumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunat,baik larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.

Macam-macam Ruksah :
  1. Rukhsah ditinjau dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhsah memperbuat dan rukhsah meninggalkan.

    Rukhsah Memperbuat
    Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya.Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya.Umpamanya boleh melakukan perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istri dalam batas yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal.Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling melihat.Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.

    Rukhshah meninggalkan
    Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.
    Umpamanya kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan firman Allah dalam suratal Baqarah (2): 184:
    Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al Nisa’ (4): 101.
  2. Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk.
    a. Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.b.
     Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan.
    c. 
    Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudlu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa.
    d. Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan. Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan.
    e. Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim di perjalanan.
    f. Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.
    g. Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.[41]

5.    Sah
Defininisi Sah adalah:
هو كونٌ الشَّيْئِ صحِيْحًا اي اعْتِبَارُ الشَّرعِ الشَّيْئِ صحِيْحًا اذا فُعلَ على النَّحوِ الَّذيْ اَمَرَ بهِ
Adalah sesuatu yang dipandang sah menurut syara’ jika sesuatu tersebut dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan.[42]

Dari definisi tersebut, dapat dimengerti bahwa jika perbuatan yang dituntut syara’ itu sudah sah, berarti yang melaksanakannya dianggap sudah menunaikan tuntutan tersebut dan terlepas dari tanggung jawabnya serta tidak dituntut hukuman, baik di dunia maupun di akhirat
.[43]
Sebaliknya jika perbuatan yang dituntut tersebut dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan dan rukunnya, bahkan bertentangan dengan aturan syara’, maka tuntutan tersebut tetap menjadi tanggung jawabnya dan pelakunya dituntut hukuman, baik di dunia maupun di akhirat kelak.[44]

Dengan demikian, perbuatan dikatakan sah jika perbuatan yang dilakukan itu sudah sesuai dengan ketentuan syara’, yaitu telah terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak adanya mani’.
Dalam hal ini, sah dapat dikatakan sebagai terlepasnya tanggungjawab dan gugurnya suatu kewajiban. 

Contoh: 
Mengerjakan shalat Maghrib (sebagai kewajiban) setelah terbenam matahari (sebagai sebab) dan sesudah berwudhu (sebagai syarat) serta tidak ada penghalang bagi pelakunya, maka hukum perbuatan yang sudah dikerjakan itu adalah sah.Maka dari itu, jika sebab tidak ada dan syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut dianggap tidak sah, sekalipun penghalangnya tidak ada.

6.    Bathil
Bathil adalah terlepasnya hukum syara’dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.Misalnya memperjual belikan minuman keras.Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.

Disamping batal ulama Hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal yaitu fasid. Menurut mereka fasid adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.
Jumhur ulama ushul fiqh /mutakaliminberpendirian bahwa antara batal dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama yaitu sama-sama tidak sah.[45]


B.  HAKIM
a.    Pengertian Al-Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum.Dalam fiqih, istilah hakim semakna dengan qadhi.Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syara’ secara hakiki.

Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt. Firman-Nya :
إنِ الحكمُ إلا لِلّه يقصّ الحق وهو خير الفاصلين
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am: 57)

Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang lain. Para utusan Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun secara adat mereka juga terkadang disebut hakim.
[46]

Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di atas. Terbukti, mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-Rusul atau khitab al-Mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, apakah akal dengan sendirinya mampu mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah perlu perantara para rasul untuk dapat mengetahuinya.

Terkait perbedaan ini, Abdul wahab khallaf membagi menjadi tiga kelompok.
  1. Mazhab Asy’ariyah, pengikut Abu Hasan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa akal dengan sendirinya tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum allah tanpa mediasi para rasul dan kitab-kitabnya. Kelompok ini berargumen bahwa yang disebut dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukkan oleh syari’ bahwa hal itu memang baik. Sementara kejelekan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh syari’ bahwa hal itu memang jelek. Kebaikan dan keburukan tidak dapat ditentukan oleh penalaran akal semata.
  2. Mazhab Mu’tazilah yakni para pengikut Washil bin Atha’ yang menyatakan bahwa dengan sendirinya akal mampu mengetahui hukum-hkum Allah tanpa melalui perantara rasul atau kitab. Mereka berhujjah bahwa sesuatu itu dikatakan baik ketika akal memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu itu dipandang jelek ketika akal memang menganggap jelek.
  3. Mazhab Maturidiyah, pengikut Abu Mansur al-Maturidi, mazhab ini menurut Khallaf adalah mazhab penengah dan dianggap sebagai pendapat yang lebih kuat. Mazhab ini menyatakan bahwa memang akal sehat itu mampu menilai mana yang baik dan mana yang dianggap buruk. Namun, tidak secara otomatis akal mampu menentukan hukum-hukum Allah, sebab kerja akal itu terbatas dan terkadang kerja akal itu berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan. Oleh karena itulah, dalam menentukan hukum-hukum Allah tetap diperlukan adanya perantara utusan dan kitab-kitabnya.[47] Pada akhirnya apa yang dipegangi oleh mazhab ini sama dengan pendapat mazhab Asy’ariyah yang tetap menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum Allah diperlukan adanya perantara.

C. MAHKUM FIH
Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain adalah sebagai bentuk uji coba/  ibtila’  dari Allah kepada para hambanya supaya dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat kepadaNya. Dengan demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan erat dengan perbuatan mukallaf dan perbuatan inilah yang disebut dengan mahkum alaih.[48]

Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu berupa taklif ijab atau nadb maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya sebuah tindakan atau perbuatan dan jika taklif itu berupa karahah atau haram, maka hukum tersebut akan terlaksana pula dengan adanya tindakan/perbuatan meninggalkan. Jadi tindakan pencegahan atau meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun (perbuatan).

Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya adalah: 

  1. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf sehingga tergambar tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya. Dengan demikian seorang itu tidak diwajibkan melaksanakan sholat sebelum jelas rukun-rukun dan kaifiyahnya.
  2. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk memberikan taklif. Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu mengarahkan kehendak untuk melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah mengenai pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah imkan al-Ilm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan pengetahuan secara praktis. Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu memahami hukum-huum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya.[49]
  3. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa perbuatan yang mustahil untuk dikerjakan, seperti mengharuskan untuk melaksanakan dua hal yang saling bertentangan, mewajibkan dan melarang dalam satu waktu, mengharuskan manusia untuk terbang dll. Meski demikian, ternyata masih ada sekelompok ulama yang memperbolehkan taklif pada perbuatan yang mustahil. Pendapat ini dipegangi oleh ulama-ulama dari kalangan Asy’ariyah. Mereka mengajukan hujjah andaikan taklif terhadap hal yang mustahil itu tidak diperbolehkan maka tidak akan pernah terjadi, sementara kenyataannya taklif itu telah terjadi, seperti pada kasus taklif yang diberikan pada Abu Jahal untuk beriman dan membenarkan risalah rasul. Dalam hal ini Allah telah mengetahui bahwa Abu jahal tidak akan pernah beriman. Pendapat ini disanggah jumhur bahwa maskipun pada kenyataannya Abu jahal tidak beriman, namun taklif tersebut sebenarnya masih bersifat mungkin dan tidak mustahil bagi abu jahal.[50]
Dari syarat ketiga, yakni perbuatan taklif itu dapat dikerjakan, muncul persoalan masyaqqah (kesulitan). Apakah boleh diterapkan taklif/pembebanan terhadap amalan yang mengandung masyaqqahDalam hal ini ulama membagi masyaqqah kepada dua macam :

  1. Masyaqqah Mu’tadah(kesulitan yang biasa), yaitu berada pada kapasitas manusia untuk melaksanakannya, artinya perbuatan tersebut dianggap mampu untuk dilaksanakan, misal shalat, zakat, puasa, haji, dst bagi manusia tidak sulit untuk dilakukan. Melaksanakan syari’ah punya hikmah tersendiri, ibarat dokter mengobati pasien dengan pil pahit untuk kesembuhan/kebaikan pasien.
  2. Masyaqqah Ghair Mu’tadah (kesulitan yang tidak biasa), yaitukesulitan di luar kapasitas manusia, yakni jika ada perintah untuk melaksanakan perintah di luar kapasitas manusia maka hal itu otomatis tidak mengandung kewajiban melaksanakan bagi mukallaf. Misal, puasa sepanjang tahun, shalat sepanjang malam, haji dengan jalan kaki, beribadah namun membahayakan keselamatn jiwa.
Macam-macam Mahkum Fih
Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4 macam :

  1. Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan akibat hukum syara), seperti makan dan minum.
  2. Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman, seperti pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qisas.
  3. Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan syarat, seperti shalat dan haji.
  4. Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’, serta mengabitkan munculnya hukum syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks, kewajiban nafkah.
D.  MAHKUM 'ALAIH
Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan dengan hukum dari syari’.
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:
  1. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia mampu memahami nash-nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah dengan kemampuannya sendiri atau melalui perantara. Hal ini penting, sebab seseorang yang tidak mampu memahami dalil/petunjuk taklif, maka ia tidak mungkin melaksanakan apa yang telah ditaklifkan kepadanya. Kemampuan untuk memahami dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-nash taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan merupakan penggerak untuk bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa ditemukan oleh indera zhahir, oleh karenanya syari’ mengimbangi dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan sesuatu yang riil,  yang bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk-petunjuk taklif. Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup dalam kategori mukallaf.[51]
  2. Seseorang itu diharuskan mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah.[52]  Dalam penjelasan lain seseorang harus Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan. Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Terkait dengan hal ini, Al-Amidi, sebagaimana dikutip oleh az-Zuhaili mengatakan bahwa para cendikiawan Muslim sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya batu padat dan hewan.
Ulama ushul Fiqh membagi jenis kecakapan / Ahliyah ini menjadi dua bagian yaitu:
  1. Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak dan kewajiban.[53] Pijakan utama dari konsep ahliyah al-Wujub ini adalah adanya kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka orang tersebut bisa disebut sebagai ahliyah al-Wujub. Ahliyah ini terbagi menjadi dua, yaitu ahliyah al-Wujub Naqishah dan Ahliyah al-Wujub Kamilah. Jenis ahliyah yang pertama adalah jika seorang itu cakap untuk menerima hak saja bukan kewajiban, seperti janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia masih bisa menerima hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa menerima kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sedangkan yang kedua adalah ketika seorang itu mampu menerima hak sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada setiap manusia.
  2. Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak. Artinya, tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan,  secara syariat telah dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an). Terkait dengan konsep ini, manusia terbagi menjadi tiga jenis klasifikasi, yaitu: Pertama, Seseorang tidak mempunyai kecakapan bertindak  sama sekali seperti orang gila dan anak kecil. Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan bertindak namun belum sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum sampai pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh).Ketiga, Seseorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna seperti seorang yang telah berakal dan baligh.[54]


KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
  1. Dalam istilah ulama ushul Fiqh, hukum didefinisikan sebagai suatu khitab syari’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, baik yang bersifat thalab (tuntutan), takhyiir (pilihan) atau wadl’i (ketetapan). Sedangkan hukum menurut pakar fiqih adalah suatu sifat syar’i yang merupakan pengaruh dari khitab tersebut. Dengan demikian, pengaruh khitab Allah yang berimplikasi pada kewajiban mendirikan shalat dari ayat “Aqiimu as-Sholaah”  adalah sebuah hukum.
  2. Secara hakikat hakim adalah Allah SWT Semata, tidak ada yang lain. Para utusan Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun secara adat mereka juga terkadang disebut hakim.
  3. Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya.
  4. Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan dengan hukum dari syari’.
Demikianlah pemaparan tentang beberapa konsep yang ada dalam ushul fiqh khususnya yang terkait dengan term hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum alaih. Pemahaman tentang beberapa konsep dasar ini sangat dibutuhkan dalam pengembangan hukum Islam supaya seorang mujtahid mampu menelurkan produk-produk ijtihad progresif-reaktif dan selalu relevan dengan era kekinian.

Wallahu A’lam bi as-Shawab.



[1] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 5
[2] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, Cet I , hal.142
[3] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut, Dar al-Fikr, 1958), hal. 21.Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.html
[4] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 295
[5] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 295-296
[6] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 172
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, Cet I , hal.144
[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, Cet I , hal.146
[9] Satria Efendi, ushul fiqh, hal 49 Diakses melalu https://bangjak.wordpress.com/category/religius/ushul-fiqih-dan-hukum-taklifi/
[10] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 298
[11]Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, hal 48 Diakses melalui https://bangjak.wordpress.com/category/religius/ushul-fiqih-dan-hukum-taklifi/
[12]Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, hal 49 https://bangjak.wordpress.com/category/religius/ushul-fiqih-dan-hukum-taklifi/
[13] Ibid.
[14] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 304
[15] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 298
[16] Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.111
[17] Harun, ushul fiqih 1, hal.232
[18] Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.162
[19] Ibid.
[20] Beik, ushul fiqih, hal.96 diakses melalui https://bangjak.wordpress.com/category/religius/ushul-fiqih-dan-hukum-taklifi/
[21] Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.167
[22] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 311
[23] Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.165
[24] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 309
[25] Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.163
[26] M. Satria Effendi, M.Zein. Hal 55. Diakses melalui https://bangjak.wordpress.com/category/religius/ushul-fiqih-dan-hukum-taklifi/
[27] Harun, ushul fiqih, hal.232 Diakses melalui https://bangjak.wordpress.com/category/religius/ushul-fiqih-dan-hukum-taklifi/
[28] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 187 Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[29] Abdul Wahab Khalaf, hal. 197
[30]Syafi’I Karim, hal. 107 Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[31] Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.173
[32] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 191, Hanafie, 19. Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[33][33] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 191, Hanafie, 19. Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[34]Syafi’I Karim, hal. 117 Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[35] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 191,Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[36]Syafi’i Karim, hal. 119 Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[37] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 193.Diakses melalui http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
[38] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op.cit.,h. 322. Diakses melalui http://tulisan377.blogspot.com/2013/05/azimah-dan-rukhshah.html
[39] Teuku Muhammad  Hasby Ash-Shidieqy, op.cit., h. 479.
[40] Teuku Muhammad  Hasby Ash-Shidieqy, op.cit., h. 479.
[41] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 32 Diakses melalui http://tulisan377.blogspot.com/2013/05/azimah-dan-rukhshah.html
[42] Muhammad Ma’shum Zain, hal. 197.
[43] Ibid. hal.198
[44]Khalaf, hal. 214
[45] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 314
[46]Abdullah bin Yusuf al-Judai’, Taysiir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar-Rayyan, 1997.), hlm. 71. Diakses melalui http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html
[47]Abdul Wahab khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (t.tp., Daar al-Qalam, 1978), hlm. 97-99.
[48]Muhammad Sulaiman abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, (t.tp., Dar as-Salam, 2004), hlm. 72
Diakses melalui http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html
[49]Abdul Wahab khollaf, Opcit., hlm. 129.
[50]Wahba http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.htmlh az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), Juz I, hlm. 137. Diakses melalui
[51]Abdul Wahab khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 199.
[52]Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 338
[53]Wahbah az-Zuhaili, Opcit., hlm. 163. Diakses melalui http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html

[54]Abdul Wahab khollaf, Opcit., hlm. 137.http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html


Demo Blog NJW V2 Updated at: Sabtu, Januari 24, 2015

1 komentar:

  1. Masya Allah...
    Pas banget nih sama materi ujian ushul fiqh besok.
    Jazakumullah ilmunyaaa 👍👍👍👍👍

    BalasHapus