Corak Penulisan Major Themes of the Qur'an

Posted by

Corak Penulisan Major Themes of the Qur'an

Major Themes of the Qur'an merupakan sebuah masterpiece karya ilmiah kontemporer yang menginterpretasi dan mengemukakan kerangka pokok Al-Qur'an dari berbagai aspek fundamental kajian ke-Islaman. Fazlur Rahman, dalam buku ini lebih cenderung terlihat menggunakan metode interpretasi al-ayah bi al-ayah sebagaimana metode yang sering dipakai ulama salaf dalam menafsir Al-Qur'an, sebut saja misalnya al-Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Di samping itu, Fazlur Rahman terlihat sebagai mufassir yang bebas dalam menginterpretasi ayat sesuai pemahamannya dan mengkorelasikan hubungan ayat dengan ayat lain, sehingga ayat demi ayat terlihat dalam relasi dan jalinan yang sempurna dan terhubung erat satu sama lain. Walaupun karya ini bercorak hermeneutis, namun kerangka fundamental tetap ditonjolkan, sehingga nilai dan corak kritis sosial kontemporer terlihat sebagai corak yang mengemuka.

Berikut ini merupakan resume Major Themes of the Qur'an bab kesatu sampai bab keenam yang menjadi salah satu tugas individu dalam mata kuliah Islamic Worldview yang diampu oleh Prof. Dr. Salman Harun di Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia. Buku ini merupakan salah satu referensi utama sebagai bahan analisa dan pembanding di samping karya-karya ilmiah lainnya.

Allahu 'a'lamu bi as-shawab.
Semoga bermanfaat.

KONSEP AL-QUR'AN TENTANG TUHAN:
Bab pertama dalam bukunya ini, Fazlur Rahman mengetengahkan pembahasan masalah-masalah yang berkenaan dengan perlunya Tuhan dan keesaan Tuhan serta akibat-akibat yang langsung dari masalah-masalah tersebut menurut al-Qur’an [hal.1].

Salah satu fungsi gagasan tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam semesta sekaligus bahwa konsep Tuhan merupakan bagian dari logika yang inheren yang harus ada, dengan memberi pernyataan bahwa Tuhan bukan saja transenden tetapi juga imanen. Hal ini dibuktikan oleh ayat-ayat al-Quran tentang hubungan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan.

Dalam pandangannya, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut katanya bahwa yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang panjang lebar tentang eksistensi Tuhan [hal.3], tetapi bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga [hal.5].

Penjabaran di atas merupakan penjabaran singkat mengenai eksistensi Tuhan dalam pandangan Fazlur Rahman, karena pembahasan mengenai Tuhan tidak bisa terlepas dari pembahasan eksistensi ciptaan atau makhluknya karena sinkronisasi hubungan keduanya tidak bisa dipilah-pilah menjadi pembahasan yang mandiri. Oleh karena itu, pada bab ke-1 dalam Tema pokok Al-Qur’an tentang konsep Tuhan halaman 7-25 tidaklah lebih sebagai pengantar dalam menjabarkan bab-bab selanjutnya. Namun, dalam pengantar tersebut ada beberapa poin yang dapat disimpulkan, yaitu;

Pertama, Tuhan menurut al-Qur’an sebagai yang mencipta, yang memelihara, yang pengasih, dan yang mempunyai maksud dalam menciptakan alam ini [hal.23].

Kedua, dalam konteks mencipta dan memelihara, Allah merepresentasikan kekuasaan dan keagungan-Nya. Dalam al-Qur’an penekanan akan kekuasaaan dan keagungan Allah ini (pertama) sesungguhnya merupakan penekanan akan keesaan Allah dalam dimensi historis mengenai politheisme orang arab jahiliyah [hal.7] yang implikasi dan khitabnya untuk semua manusia sampai akhir zaman, karena (kedua), pembicaraan mengenai kekuasaan dan kebesaran Tuhan senantiasa merupakan tautalogi (pengulangan yang tidak menambah kejelasan) karena kekuasaan dan kebesaran-Nya adalah arti yang terutama dari sifat-Nya yang serba mencakup, maka alasan mengapa kekuasaan dan kebesaran-Nya itu sering ditandaskan dalam al-Qur’an, adalah untuk menunjukkan betapa berbahayanya kebodohan manusia yang mempersamakan dan mengidentikkan hal-hal yang terhingga dengan Dia Yang Tak Terhingga [hal.10].

Ketiga, dalam konteks Maha Pengasih Tuhan, Fazlur Rahman menafsirkan ayat 2:254-255; 59:22-24; 27:60-64 bahwa Allah sebagai Tuhan diekspresikan melalui penciptaan-Nya; pemeliharaan-Nya dan rezeki yang Ia berikan kepada makhluk ciptaan-Nya (terutama sekali dan terpenting: manusia); dan melalui penciptaan kembali alam semesta ini dalam bentuk yang baru [hal.7-9].

Keempat, dalam konteks taqdir yang implikasinya pada ke-Maha Adil-an Tuhan, semua pernyataan Al-Qur’an tentang Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya (2:17,142,213,274; 14:4; 16:93; 24:35; 28:56; 30:29; 35:8) dijawab pada ayat yang lainnya (2:26,258,264; 3:86; 5:16,51,67,108; 6:88,144; 9:19,21,37,80,109; 12:52; 13:27; 16:37,107; 28:50; 39:3; 40:28; 42:13; 46:10; 61:5). Semua pernyataan al-Qur’an ini berarti bahwa karena perbuatannya sendirilah manusia memperoleh petunjuk atau kesesatan [hal.23].


KONSEP AL-QUR'AN TENTANG MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU:
Secara garis besar, pandangan Fazlur Rahman tentang kebebasan berkehendak sama dengan pandangan Mu’tazilah, namun hanya saja yang membedakannya dengan konteks berpikir Mu’tazilah adalah pada eksistensi wahyu yang mutlak harus ada (mengadopsi Mu’tazilah-Asy’ariyyah) [lih.hal.3]. Pada pembahasan Manusia Sebagai Individu, dapat ditarik beberapa garis besar pandangannya tentang konsep manusia yang secara spesifik berkenaan dengan habl min Allah. Diantaranya yaitu: (1) proses penciptaan manusia dan fakta moral penciptaannya, (2) analisa kelemahan manusia yang paling mendasar dan cara penyembuhannya, (3) konsep free will dalam kaitannya dengan doktrin qadar al-Qur’an, dan (4) konsep Taqwa.

Pertama, seperti makhluk-makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah. Ia diciptakan secara alamiah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah (15:26,28,33; 6:2; 7:12; dan ayat-ayat lainnya) yang jika diorganisir ke dalam diri manusia akan menghasilkan ekstrak sulala (air mani), dan jika masuk ke dalam rahim air ini mengalami sebuah proses kreatif seperti yang dinyatakan oleh ayat-ayat 23:12-14; selanjutnya 15:19; 38:72; 32:9; dan selanjutnya.

Kedua, analisa-analisa kelemahan manusia yang paling mendasar yang menyebabkan ia mendapat dosa-dosa besar ialah “kepicikan” (dha’f) dan “kesempitan pikiran (qathr) [hal.38]. Dari dua kelemahan tersebut malahirkan implikasi negatif lainnya yang dimanfaatkan oleh syaitan untuk menjerumuskan manusia, seperti sombong, putus asa, mengingkari perintah Allah, bahkan sampai berlaku syirik terhadap-Nya [hal.41]. Jadi bagaimana cara mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut? Fazlur Rahman menjelaskan pada hal.37 bahwa setiap individu dan setiap bangsa secara terus menerus harus mendengarkan hati nuraninya, karena penulisan ke dalam hati mereka itu (yang merupakan ikrar primordial) merupakan sifat-sifat hakiki yang telah tertanam di dalam dirinya. Karena alasan inilah al-Qur’an tanpa jemu-jemunya menyerukan bahwa setiap manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, sekalipun perbuatan-perbuatan yang tampaknya disebabkan oleh orang lain.

Ketiga, dalam memahami konsep free will, haruslah diketahui bahwa semua isi alam semesta ini mentaati Allah “secara otomatis” (kecuali manusia yang dapat mentaati atau mengingkari perintah Allah). Itulah sebabnya al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta sebagai “muslim” karena setiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak menjadi muslim) menyerah kepada kehendak Allah (3:83) dan setiap sesuatu memuji Allah (57:1; 59:1; 61:1; dan ayat-ayat lainnya) [hal.95]. Kemudian dalam kaitannya dengan doktrin qadar al-Qur’an mengenai Allah memberikan petunjuk bagi orang yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya merupakan buah dari usaha manusia sendiri. Ia dikaruniai petunjuk karena ia taat kepada-Nya begitu juga sebaliknya [hal.23].

Keempat, keseimbangan unik yang terjadi karena aksi-aksi moral yang integral (sebagaimana yang jabarkan pada bahasan sebelumnya) inilah yang dikatakan sebagai Taqwa. Taqwa berarti melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Dengan demikian istilah “takut kepada Allah” dengan pengertian takut kepada akibat-akibat perbuatan sendiri (dunia dan akhirat)adalah tepat sekali [hal.43].




KONSEP AL-QUR'AN TENTANG MANUSIA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT:
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah menegakkan sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi ini. Bila pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai manusia sebagai individu yang kaitannya lebih luas kepada hal-hal yang bersifat tanggungjawab individu baik implikasinya terhadap diri pribadi maupun tanggung jawab amal perbuatan terhadap Tuhan, maka pada bab ini bahasannya akan lebih spesifik mengenai hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan atau dalam konteks habl min an-nas. Dalam konteks tersebut Fazlur Rahman membahas beberapa masalah penting terkait (1) keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata, (2) tujuan dari konsep sosial-politik yang diatur dalam al-Qur’an yang dimulai dari konsep keluarga, (3) konsep persamaan hak dalam kasus gender, (4) konsep religius-sosial manusia.

Pertama, dalam konteks keadilan dan kesejahteraan yang merata, al-Qur’an menetapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja”(59:7), oleh karena itu disyariatkannya zakat (9:60) [hal.60], termasuk juga dalam keadilan yaitu pelarangan riba (3:130) [hal.59].

Kedua¸ pada level sosial-politik, al-Qur’an menguatkan unit keluarga paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, kakek nenek (2:83;, 4;36; 6:151; 17:23; 29:8; 31:14; dan 46:15); masyarakat muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan dengan penekanan semua kaum muslimin dinyatakan “bersaudara” (49:10) [hal.63]. Berangkat dari sini, bahasan al-Qur’an akan lebih meluas dalam mengatur kehidupan bermasyarakat (4:135), dan kehidupan bernegara (58:8-10; 58:7; 4:11-14) [hal.63].

Ketiga, konsep persamaan hak kaum lelaki dengan kaum wanita secara garis besar merupakan masalah yang sama [hal.71]. Namun secara spesifik, dalam beberapa hal al-Qur’an mengatur pembagian tugas dan fungsi laki-laki dan wanita dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek nafkah yang notabene merupakan kewajiban suami, namun secara ekplisit maupun implisit tidak ada keterangan dalam al-Qur’an yang menentang perempuan mencari nafkah dan dapat berdiri sendiri di bidang ekonomi, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Kemudian, dalam pembagian waris, al-Qur’an secara tegas membedakan proporsi bagian laki-laki dan perempuan. Sebagian muslim-modernis berpendapat bahwa karena kondisi sekarang ini telah berubah, maka seorang anak perempuan harus memperoleh bagian yang sama seperti saudara laki-lakinya. Tetapi yang lainnya mengatakan ketetapan tersebut harus dipertahankan, karena selain warisan, seorang anak perempuan juga akan menerima mas kawin dari suaminya [hal.75].

Keempat, konsep religius sosial manusia digambarkan menurut terma-terma yang kita gunakan dalam memahami al-Qur’an, maka jihad diperlukan. Jihad adalah perjuangan yang bersifat total “dengan harta benda dan jiwa kalian”, seperti yang seringkali dinyatakan al-Qur’an “untuk tercapainya tujuan Allah” (9:41). Sangat disayangkan bahwa propaganda kristen barat telah mengaburkan keseluruhan masalah jihad ini dengan mempopulerkan slogan “Islam dikembangkan dengan pedang” atau “Islam adalah agama pedang”. Yang dikembangkan dengan pedang bukanlah agama Islam tetapi domain politik islam sehingga Islam dapat menciptakan tata dunia yang dicita-citakan al-Qur’an tersebut [hal.93].


KONSEP AL-QUR'AN TENTANG ALAM SEMESTA:
Dalam penjabaran tentang alam semesta, sedikitnya dapat disimpulkan beberapa gagasan yang dituangkan Fazlur Rahman dalam bab ini, yaitu; (1) metafisika penciptaan alam dalam ruang lingkup kosmis, (2) hubungan Sang Pencipta terhadap alam semesta dan manusia, (3) hukum-hukum yang berlaku dalam tatanan alam semesta, dan (4) tujuan penciptaan alam semesta dan pemanfaatannya oleh manusia dalam konteks nilai moral penciptaan alam semesta.

Pertama, mengenai metafisika penciptaan, al-Qur’an hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:177; 3:47,59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Oleh karena itu Allah adalah pemilik mutlak dari alam semesta yang tidak dapat disangkal di samping pemeliharaan-Nya yang Maha Pengasih [hal.95]. Satu-satunya petunjuk dalam al-Qur’an mengenai “pembentangan” alam semesta adalah ayat 21:30. Dikatakan keseluruhan proses penciptaan alam semesta ini terjadi dalam “enam hari” (7:54; 10:3; 11:7; 25:59) dan setelah itu Allah duduk di atas ‘Arsy (7:54; 10:3, dan ayat-ayat lainnya) [hal. 96].

Kedua, jika al-Qur’an sedikit sekali berbicara mengenai kosmogoni, maka ia seringkali dan berulangkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena-fenomena alam, yang walaupun pernyataan-pernyataan ini menghubungkan alam dengan Allah, dengan manusia ataupun dengan kedua-duanya. Pernyataan-pernyataan ini umumnya menggambarkan kekuasaan serta kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya, atau menggambarkan belaskasih-Nya yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia bersyukur kepada-Nya. Kedua hal ini, baik kebesaran alam semesta dan manfaatnya, maupun stabilitas dan regularitas fenomena-fenomena alam, sama-sama ditekankan [hal.96]. Jadi hubungan mendasarnya adalah: satu, menggambarkan kekuasaaan; kedua, menyerukan manusia untuk mensyukurinya; ketiga, mencuatkan perbedaaan antara Khalik dan makhluk [hal. 97;101].

Ketiga, pada ayat-ayat berikut: “sesungguhnya Dia-lah yang memiliki dan mengatur segala sesuatu” (7:54), “sesungguhnya Kami telah menciptakan setiap sesuatu menurut ukurannya” (54:49) menunjukkan bahwa alam semesta tunduk dan patuh pada hukum yang telah diciptakan dan ditetapkan Allah berupa sunnatullah fi al-‘alam. Namun, disamping itu, terdapat pula fenomena-fenomena janggal yang bertentangan dengan hukum alam yang telah ditetapkan Allah tersebut, yaitu berupa mu’jizat yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul-Nya [hal.102]. Kaitannya dengan hal tersebut, dalam bab ini selain mengetengahkan bahasan mengenai kejadian natural menurut hukum alam, dikupas juga mengenai pertanda-pertanda atau keajaiban-keajaiban yang supranatural dalam kaitannya dengan poin ini, menyerukan manusia untuk mensyukuri nikmat Allah berupa penciptaan alam semesta dan memberikan petunjuk kepada manusia dengan mengutus para nabi dan rasul sebagai pembimbing manusia menuju jalan yang lurus.

Keempat, berangkat dari ayat 2:29; 31:20; 45:12 dan seterusnya, bahwasanya disamping menggambarkan kekuasaan Allah, tujuan utama dari ayat-ayat tersebut adalah untuk memperlihatkan bagaimana Allah mempergunakan kekuasaan-Nya itu untuk kebaikan manusia, sehingga manusia menyadari eksistensinya di dunia ini dengan memanfaatkan dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya.



KONSEP AL-QUR'AN TENTANG KENABIAN DAN WAHYU ALLAH:
Al-Qur’an memandang kenabian sebagai suatu yang universal. Fazlur Rahman dalam menafsirkan al-Qur’an (40:78; 4:164) mengatakan rasul-rasul atau nabi-nabi mula-mula “diutus untuk kaum mereka” sendiri, tetapi ajaran yang mereka sampaikan itu tidak terbatas kepada negerinya saja. Ajaran mereka bersifat universal dan harus diyakini serta diikuti oleh semua manusia. Inilah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah [h.117].

Mengenai perbedaan kedudukan dan fungsi nabi dan rasul, ia lebih cenderung menafsirkan ayat 22:52 dengan membedakan kedudukan nabi dan rasul dalam konteks urgensi dan substansinya dalam membawa risalah. Menurutnya sebutan rasul menunjukkan peranan yang lebih penting daripada nabi; seorang nabi dapat berperan sekedar sebagai pembantu rasul misalnya Harun yang berperan sekedar sebagai pembantu Musa [h.120]. Jadi, dalam hal ini, konotasi rasul lebih luas daripada nabi.

Pada dasarnya semua Rasul menyampaikan ajaran yang sama, hanya ada satu, Tuhan yang Esa, yang patut disembah, dicintai dan ditakuti. Misi utama semua rasul pada intinya hanya menyampaikan risalah tauhid. Hal tersebut juga berlaku terhadap nabi Muhammad saw., membawa risalah yang universal, “penyampai peringatan dan kabar gembira”. Di sisi lain, selain sebagai pembawa risalah, nabi juga menjadi teladan bagi ummatnya [h.130].

Dalam membahas wahyu, pertama sekali Fazlur Rahman memproyeksikan pribadi Nabi saw. dengan berangkat dari sifat-sifat kemanusiaan yang menerima segala bentuk kehendak Allah bahwa beliau saw. tidak pernah ingin menjadi Nabi atau mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang nabi, sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Qur’an (28:85-86; 42:52; 29:48), sehingga jelas sekali bahwa pengalaman religius Muhammad saw. terjadi secara tak terduga; karena pengalaman ini ia bagaikan orang mati yang hidup kembali (6:123) [h.132].

Pembahasan selanjutnya berkenaan dengan sifat dan cara penurunan wahyu kepada nabi Muhammad saw., Fazlur Rahman menjabarkan panjang lebar tentang makna wahyu dan proses penurunannya dengan mensitir ayat-ayat al-Qur’an secara sistematis kemudian menafsirkannya dalam kerangka interpretasi logis. Pertama, dalam menafsirkan kata “bayyinat” pada ayat 11:17 sebagai “wahyu” atau ruh wahyu dimaksudkan bahwa Nabi memiliki wahyu yang potensial dalam dirinya, sebuah bayyinat atau bukti nyata untuk dirinya sendiri bahwa ia adalah Rasul Allah, dan bahwa kepadanya utusan Tuhan benar-benar telah menyampaikan wahyu kepadanya [h.147]. Berangkat dari sini, yang sebelumnya diketengahkan pada h.142 pendapat pemikir-pemikir muslim seperti al-Ghazali dan Syah Waliyullah ad-Dihlawi mengenai proses penurunan al-Qur’an ke langit pertama secara menyeluruh, dan langit pertama yang dimaksud di sini adalah hati Nabi Muhammad saw., Fazlur Rahman sependapat dalam hal ini. Dapat disimpulkan bahwa, wahyu yang diturunkan Allah dari al-Lauh al-Mahfuz menuju langit pertama (dalam hal ini yang dimaksudkan adalah hati nabi Muhammad saw.) kemudian dibantu oleh ruh wahyu/ruh al-Quds (2:87,253; 5:110). Kedua, berkenaan dengan sang penyampai wahyu (perantara wahyu), dalam hal ini Fazlur Rahman menyangkal bahwa wahyu disampaikan melalui perantaraan malaikat sebagaimana penafsirannya tentang ayat 15:81, namun wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad saw. disampaikan oleh Ruh Suci yang juga dinamakan “Ruh Kepercayaan” (26:193). Namun dalam paragraf berikutnya ia menegaskan bahwa Ruh Suci itu tidaklah berbeda dari malaikat-malaikat [h.140].

Yang terakhir, dalam kaitannya dengan i’jaz al-Qur’an sebagaimana yang banyak ditegaskan oleh al-Qur’an sendiri di dalamnya, menurut Fazlur Rahman tidaklah lebih sehubungan dengan gaya dan ekspressi linguistiknya saja [hal.153].




KONSEP AL-QUR'AN TENTANG ESKATOLOGI:
Dalam konteks eskatologi, pandangan mendasar penafsiran Fazlur Rahman dapat dipetakan kedalam tiga garis besar: (1) konsep akhirat, yang berisi gambaran umum tentang konsep hasil penafsirannya dari ayat-ayat al-Qur’an; (2) fenomena-fenomena hari akhir; dan (3) alasan-alasan penting eksistensi akhirat menurut al-Qur’an.

Pertama, Gambaran umum mengenai eskatologi al-Qur’an adalah kenikmatan surga dan azab neraka. Surga dan neraka ini sering dinyatakan al-Qur’an sebagai imbalan dan hukuman yang secara garis besar-nya termasuk “keridhaan dan kemurkaan Allah”. Tetapi ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai akhirat adalah bahwa akan tiba saat (as-sa’ah) ketika manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tidak pernah dialamainya di masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya [hal.154]. Dalam konsep penimbangan amal perbuatan, Fazlur Rahman menolak konsep Mu’tazilah karena konsep tersebut menafsirkan konsep penimbangan amal dengan cara yang sangat literal sehingga berkembanglah sebuah doktrin quid pro quo yang kaku, yang ujungnya tidak menerima konsep rahmat Allah yang tidak terbatas [hal.158]. Dalam konsep kebangkitan, Fazlur rahman berpendapat bahwa bukan hanya ruh saja yang dibangkitkan nanti, melainkan jasmani dan rohani agar sesuai dengan sifat ke-Maha Adil-an Tuhan [hal.163-164].

Kedua, fenomena-fenomena hari akhir yang dikemukakan antara lain: manusia mengurus dirinya masing-masing (19:80) [hal.156]; pada hari itu manusia ingin membeli kebebasannya dengan emas dunia tetapi keinginan ini ditolak (3:91) [hal.156]; catatan amal perbuatan manusia yang akan berbicara (23:62; 45:29) [hal.159]; setiap kaum akan dihukum berdasarkan patokan-patokan yang telah titetapkan oleh nabinya dan sesuai dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam wahyu-wahyu Allah kepadanya [hal.166]; tanya jawab di antara anggota-anggota masyarakat yang lemah dengan yang kaya (38:59-64) [hal.167].

Ketiga, menurut al-Qur’an, akhirat adalah sangat penting karena berbagai alasan. Alasan pertama: moral dan keadilan sebagai konstitusi realitas yang menurut al-Qur’an adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yanag terjadi di atas dunia. Alasan yang kedua: yang telah digarisbawahi di bagian awal bab ini: “tujuan-tujuan” hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan sesungguhnya dari kehidupan ini. Hal ini teramat penting di dalam keseluruhan doktrin al-Qur’an tentang kebangkitan-kembali, karena penimbangan amal perbuatan mensyaratkan dan tergantung kepadanya. Alasan ketiga yang sangat erat hubungannya dengan alasan kedua: perbantahan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia akhirnya harus diselesaikan. Menurut al-Qur’an adalah jelas sekali bahwa walaupun ada, namun perbedaaan pendapat secara jujur jarang sekali dijumpai. Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena motivasi-motivasi ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau bangsa karena tradisi-tradisi yang diwariskan maupun karena bentuk-bentuk kefanatikan yang berbeda-beda [hal.169].





Demo Blog NJW V2 Updated at: Sabtu, Desember 06, 2014

0 komentar:

Posting Komentar