Demografi, Etnografi dan Historiografi Timur Tengah [bag.3]

Posted by

Historiografi Kawasan Timur Tengah

B.    Historiografi Kawasan Timur Tengah

Menggubah sya’ir merupakan salah satu budaya dan tradisi yang sampai saat ini selalu dipelihara oleh orang-orang yang hidup di kawasan Timur Tengah khusunya bangsa Arab, tak jarang sya’ir yang sudah menjadi tradisi tersebut diperlombakan, kemudian pemenang dari perlombaan tersebut akan mendapatkan penghormatan dengan digantungnya karya yang telah dihasilkan pada dinding Ka’bah. Melalui tradisi sastra inilah diketahui beberapa peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi. Dan nilai-nilai yang menyertai peristiwa penting itu juga mereka abadikan melalui kisah, dongeng, nasab, nyanyian, sya’ir dan sebagainya[1].

Penulisan-penulisan dongeng serta kisah-kisah yang telah terjadi itulah yang disebut dengan sejarah, yaitu histoire-recité ‘sejarah sebagaimana yang dikisahkan serta mencoba untuk menangkap dan memahami histoire-realité ‘sejarah sebagaimana yang terjadi’. Histoire-recité itulah yang disebut sebagai historiografi.

Kata ”historiografi”merupakan gabungan dari dua kata, yaitu history yang berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi/penulisan.[2] History berasal dari kata benda Yunani ”istoria” yang berarti ilmu. Yang pada perkembangan selanjutnya lebih banyak digunakan untuk pemaparan mengenai gejala-gejala, terutamam tentang keadaan manusia, dalam urutan kronologis.[3] Saat ini “History” menurut definisi yang paling umum berarti “masa lampau umat manusia”.

Penulisan sejarah dipandang sangatlah penting karena salah satu manfaat dari suatu penulisan sejarah History as written atau Historiografi adalah seorang sajarawan mampu membedakan antara data-data yang bersifat fakta atau fiksi, yang sangat perlu untuk menyempurnakan karya penulisan sejarah. misalnya ketika seorang sejarawan mempelajari penulisan sejarah yang bersifat magis, seperti cerita rakyat.

Namun, menurut pandangan kami penulisan sejarah akan selalu mengalami perubahan atau akan selalu direvisi mengingat dalam sebuah penulisan seorang sejarawan tentunya memiliki latar belakang penulisan sejarah biasanya penulisan sejarah dipengaruhi oleh keadaan zaman dan lingkungan kebudayaan.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bangsa Timur Tengah atau lebih dikenal dengan bangsa Arab sebelum Islam dan pada awal kebangkitan Islam tidak menulis sejarah. Ada dua faktor yang menyebabkan mereka tidak menulis sejarah tersebut. Pertama, karena mayoritas mereka adalah orang-orang yang buta aksara. Kedua, anggapan mereka bahwa kekuatan mengingat lebih terhormat daripada menulis. Sehingga semua peristiwa hanya diingat dan diceritakan berulang-ulang.[4]

1.   Historiografi Arab Pra Islam
Adapun sejarah Arab pra Islam yang dapat dipercaya adalah peninggalan-peninggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan didaerah Yaman, Hadhramaut, sebelah utara Hijaz dan sebelah selatan Syiria.[5]

Untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Jazirah Arab pada masa Jahiliyah, maka hanya tradisi lisan yang bisa ditelusuri, karena orang-orang Arab pra Islam telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan tersebut, baik yang dikenal dengan al Ayyam maupun al Ansab.[6]

     Al- Ayyam
Adapun yang dimaksud dengan ayyam al Arab perang-perang antar kabilah Arab. Dikalangan kabilah Arab Jahiliyah sangat sering terjadi perang antar kabilah baik disebabkan perselisihan untuk memilih pemimpin, perebutan sumber air dan perebutan padang rumput untuk pengembalaan binatang ternak. Ayyam al Arab sendiri secara etimologi memiliki arti hari-hari penting bangsa Arab. Disebut demikian karena peperangan tersebut hanya tejadi disiang hari sementara pada malam harinya mereka berhenti berperang dan beristiharat untuk menanti hari esok dan melanjutkan perang kembali.[7]Sedangkan al-ayyam sendiri berbentuk kumpulan cerita-cerita yang berbentuk lisan yang merajuk kepada soal-soal yang berkaitan dengan kegiatn-kegiatan masyarakat arab di zaman jahiliyah. Segala kegiatan dan tanggung jawabnya adalah takluk sepenuhnya kepada suku-suku yang terlibat[8].

Pengaruh al-ayyam sangatlah kuat sehingga mampu bertahan hingga abad 8 Masehi atau 2 Hijriyah[9] kisah-kisah al-ayyam mengandung ciri-ciri sejarah namun pada dasarnya ia tidak dirancang untuk menghasilkan bahan sejarah. Tujuan utama penulisan al- ayyam sebenarnya adalah untuk memperkembangkan ilmu kesusasteraan. Kebanyakan ahli- ahli sejarah enggan menerima al-ayyam sebagai fakta sejarah karena al-ayyam sendiri berbentuk puisi dan legenda dan dipindahkan secara oral kepada sastra yang berbau kedaerahan dan kesukuan.[10]

Namun sebenarnya apa yang lebih penting di sini adalah tentang kesan dan pengaruh al- ayyam dalam penulisan sejarah. Ramai diantara ahli-ahli bahasa Arab, ahli keturunan dan sejarawan Islam seperti Abu Ubaidah, Ibnu Qutaibah, al- Mada’ini, al-Isfahani, dan Ibn al-Atir telah dipengaruhi al-ayyam. Dalam konteks ini Haji Khilafah dalam bukunya menyatakan bahwa al-ayyam adalah salah satu sumber terpenting bagi sejarah Islam.[11]

Ciri-ciri umum ayyam:
1.   Perhatian dicurahkan pada kabilah Arab. Kisah peperangan disampaikan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselingi syair.
2.      Riwayat atau kisah kabilah diturunkan secara lisan, sehingga menjadi milik bersama kabilah yang bersangkutan.
3.      Tidak teraturnya kronologi dan waktu.
4.      Objektifitasnya diragukan karena mengagungkan satu kabilah dan merendahkan kabilah lain.
5.  Disamping sebagian informasinya tidak faktual, masih tetap bisa ditemukan fakta-fakta yang menunjukan kebenaran sejarah.[12]

      Al-Ansab
Al-ansab merupakan satu cabang pengetahuan yang dianggap sangat penting sehingga setiap kabilah menghafal seilsilahnya agar silsilah tersebut tetap murni dan menjadi kebanggaan terhadap kabilah lain. Meskipun didalam al Ansab ada petunjuk sejarah, namun tidak bisa dikatakan bahwa ini adalah ekspresi kesadaran bangsa Arab terhadap sejarah[13], karena:
1.  Pada masa pra Islam perhatian terhadap silsalah belum mengambil tradisi tulis baru sebatas hafalan.
2.      Pengetahuan tentang silsilah akan lenyap jika tidak ada yang menghafalnya
3.      Hafalan mereka tentang nasab-nasab bercampur dengan mitos
4.   Tradisi ini tidak menyebar pada sejarah ”umum” yang \meliputi setiap kabilah, karena mereka memang belum mengenal tanah air.
5.  Perhatian orang-orang Arab terhadap nasab semakin berlanjut, walaupun Rsulllah saw telah melarang umatnya untuk berbangga-bangga dengan kabilah.[14]

Sedangkan al-anshab adalah bentuk tradisi sebelum Islam yang mengandung sejarah lainnya adalah al-Ansab, yang artinya adalah silsilah. Al-Ansab adalah kata jamak dari kata nasab yang berarti silsilah (genealogi). Sejak masa Jahiliyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan memelihara pengetahuan tentang nasab. Ketika itu pengetahuan tentang nasab merupakan salah satu cabang yang di anggap penting. Setiap kabilah mengahfal silsilahnya, semua anggota keluargnya mengahafalnya agar tetap murni, dan silsilah itu dibanggakan terhadap kabilah lain.[15]

2.      Teori Historiografi Islam
Historiografi awal Islam pada dasarnya merupakan historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad SAW sampai abad ke-3 H., ketika historiografi Islam awal mengambil bentuk relatif mapan. sulit dibantah, bahwa historiografi awal ini mempunyai sumber dasar keagamaan. Adalah Islam yang memberikan kesadaran sejarah kepada kaum muslim baik melalui al-Qur'an-dengan banyak ayat yang mendandung dimensi historis dan quasi-historis- maupun melalui Nabi Muhammad sendiri sebagai figur historis.[16]

3.      Aliran-aliran Penulisan Sejarah Masa Awal Islam
Menurut Husain Nashshar, penulisan sejarah di awal kebangkitan Islam bisa dibagi menjadi tiga aliran yaitu : aliran Yaman, Aliran Madinah dan aliran Irak.[17]
1.      Aliran Yaman
Riwayat-riwayat tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat (cerita). Isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Aliran ini merupakan kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulis pada aliran ini bisa dijuluki tukang hikayat sementara hasilnya bisa disebut sebagai novel sejarah. Karenanya para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayatnya memiliki nilai sejarah.[18]
2.      Aliran Madinah
Sejalan dengan riwayat perkembangannya, para sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli hadits dan hukum fiqih. Perkembangan dan orientasi aliran Madinah ini sangat ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama dalam bidang ilmu fiqh dan hadits yaitu ; Urwan bin al-Zubair dan al-Zuhri muridnya. Ditangan al-Zuhri aliran Madinah semakin berkembang. Murid-murid al-Zuhri seperti Musa Ibn Uqbah dan Ibnu Ishaq melanjutkan langkahnya, tetapi sangat disayangkan bahwa Ibnu Ishak banyak mengambil bahan sejarahnya dari isroiliyat sehingga nilai sejarah menjadi merosot kembali. Sangat jelas bahwa penulisan sejarah bermula dan sangat erat hubungannya dengan ilmu hadits, bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan cabang dari ilmu hadits itu sendiri. Dimana pemaparan sejarahnya berkaitan tentang keadaan, peristiwa-peristiwa penting sejarah dalam kehidupan Nabi dan kaum muslimin pertama. Dalam hal ini ada gagasan tentang pentingnya pengetahuan tentang sirah an nabawiyah dan pengalaman umat Islam.[19] Perkembangan ilmu hadits ini berlangsung melalui periwayatan. Dari penulisan hadits-hadits nabilah para sejarawan mengembangkan cakupannya sehingga membentuk satu tema sejarah tersendiri.[20]




[1]Agus Jaya, Tinjauan Kritis Terhadap “Muqoddimah” Ibnu Khaldun, http://syamsulnicotine.blogspot.com/2013/03/historiografi-islam.html diunduh pada 08 September 2013
[2] Badri Yatim, Historiografi Islam, Jakarta : Logos. 1997. hal 1.
[3] Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, Jakarta : UI Press, 1986. hal. 27
[4]Agus Jaya, Tinjauan Kritis Terhadap “Muqoddimah” Ibnu Khaldun, http://syamsulnicotine.blogspot.com/2013/03/historiografi-islam.html diunduh pada 08 September 2013
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Badri Yatim, Historiografi Islam, Jakarta : Logos. 1997, hal 30.
[8] Abdul Aziz ad-Durl, Bath fi Nash’at Ilmu at-Tarikh inda al-Arab, Beirut: Daral-Sadir 1960, h. 16-18
[9] Ibid., hal 8
[10] Ibid., hal 18
[11] Haji Khilafah, Kasyf al-Zunun ‘an Asmi al- Kutub  wa al- Funun, Istanbul 1941 vol 1 hal 43.
[12] Agus Jaya, Historiografi Islam (Tinjauan Kritis Terhadap “Muqoddimah” Ibnu Khaldun, http://syamsulnicotine.blogspot.com/2013/03/historiografi-islam.html diunduh pada 09 September 2013
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Badri Yatim, Historiografi Islam, hal 37-38
[16] M.M. Azmi, Studies in Hadist Methodology and Literature, Indianapolis: 1997, hal 1-3
[17] Husein Nashshar, Nas’ah at tadwin at tarikh inda al Arab, Kairo : Maktabah an Nahdoh al Misriyah, hal 73
[18] Muhammad Ahmad Tarhini, al Muarrikhun wa at tarikh inda al Arab, Beirut : Dar al Kutb al Ilmiyah, 1991, hal. 14
[19] Agus Jaya, Historiografi Islam (Tinjauan Kritis Terhadap “Muqoddimah” Ibnu Khaldun
[20] Ibid.





Demo Blog NJW V2 Updated at: Selasa, Januari 06, 2015

0 komentar:

Posting Komentar