Dalam terminologi ilmu fiqh, dinyatakan oleh
kalangan Hanafiyah bahwa harta itu adalah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat
manusia dan mungkin disimpan untuk digunakan saat dibutuhkan. Namun harta
tersebut tidak akan bernilai kecuali bila dibolehkan menggunakannya secara
syariat. Mereka membedakan antara materi dan nilai. Materi hanya bisa terwujud
ketika seluruh manusia atau sebagian di antara mereka menggunakannya sebagai
materi. Tetapi nilai hanya berlaku bila dibolehkan oleh ajaran syariat
(al-Mushlih dan ash-Shawi: 2004).
Apabila harta tersebut merupakan hak milik Allah
sementara Allah telah menyerahkan kekuasaan atas harta tersebut kepada manusia,
melalui izin darinya, maka perolehan seseorang atas harta tersebut sama dengan
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memanfaatkan serta mengembangkan
harta, yang antara lain karena menjadi hak miliknya. Sebab ketika seseorang
memiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk
dimanfaatkan. Sehingga dalam hal ini dia terikat dengan hukum-hukum syara’ dan
bukan bebas mengelolanya secara mutlak. Begitu pula dia juga tidak bisa bebas
mengelola zat barang tersebut secara mutlak, meskiput dia memiliki zatnya. Alasannya
adalah ketika dia mengelola dalam rangka memanfaatkan harta tersebut dengan
cara yang tidak sah menurut syara’, misalnya dengan
menghambur-hamburkannya atau menggunakannya untuk suatu kemaksiatan, maka
negara wajib mengawalnya dan melarang untuk mengelola, juga merampas wewenang
yang telah diberikan negara kepadanya (an-Nabhani: 2002).
Dalam syariat harta terbagi menjadi dua bagian :
- Harta tetap (diam), adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan seperti tanah yang melekat dan bangunan yang permanen. Menurut kalangan Hanafiyah yang dimaksud harta diam adalah tanah saja. Sedangkan menurut kalangan Malikiyah pengertiannya bisa meluas kepada segala yang melekat dengan tanah seperti tanaman dan bangunan, karena keduanya tidak mungkin dipindahkan kecuali harus diubah sehingga bangunannya menjadi berkeping-keping.
- Harta bergerak, adalah garta yang cepat dipindahkan dan dialihkan (seperti uang).
Berdasarkan klasifikasi ini muncul sejumlah
hukum (al-Mushlih dan ash-Shawi: 2004) yang terkait dengan harta tetap dan
bergerak, yaitu :
- Disahkannya menjual diam sebelum diserah-terimakan. Menurut sebagian ulama seperti Abu Hanifah dan Abu Yusuf, tidak sah menjual harta bergerak sebelum diserah-terimakan, namun dalam aplikasinya ada sedikit perbedaan pendapat.
- Mendahulukan pembersihan harta bergerak sebelum harta diam ketika seseorang dalam keadaan terlilit hutang (bangkrut).
- Tidak dibolehkannya menjual harta diam orang yang tercekal, karena masih kecil atau karena idiot kecuali dalam kondisi darurat atau kemaslahatan yang pasti atau karena kebutuhan yang mendesak. Sementara menjual harta bergerak dibolehkan untuk kemaslahatan semata.
Terkait dengan hak terhadap harta dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Harta pribadi
Harta ini tidak boleh diambil oleh orang lain melainkan dengan kerelaan hati
dari pemiliknya.
Harta milik
Allah
Harta pada dasarnya milik Allah (hakiki kepemilikan), manusia hanya
diberikan kesempatan memilikinya sementara (derivatif dari kepemilikan Allah). Sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 33:
![[QS. an-Nur (24):33] [QS. an-Nur (24):33]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHlGH-EtCYaZ2dW-RP2l5Qi-yyu8RZdpXLt9JwB9XkZ1O3maMygkBFZB3diZXAKg0Zet8ctPUook7mkUmo5QN6LSUreOGq5LG7aIyf7RjWm6lMLVf0DJMJCrlLCRTHVxet9upCsN3EkJQg/s1600/QS.+an-Nur+%5B24%5D_33.png)
“dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[1037]. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” [QS. an-Nur (24):33].
Selain itu, dalam QS, al-Hadid ayat 7 :
![[QS. al-Hadid (57):7] [QS. al-Hadid (57):7]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja02Vl8E7b9BHhHjTtO3kVeNu3egaRPRx8o9wx2uoouDlhWuQCbnBQrmMn2RL66RO7xVwkpqw1y6vlNPVWqulwabyBRCtZTpIoLvrUb3HI1XFhZk_ZBN2JV2I_KFTWH3K9bUNBH4MRHdDK/s1600/QS.+al-Hadid+%5B57%5D_7.png)
“berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” [QS. al-Hadid (57):7].
Harta milik bersama
Konsekuensi harta ini adalah didahulukannya kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, ketika terjadi bentrokan dengan memberikan kompensasi yang adil kepada pemilik harta tersebut.
Menurut an-Nabhani (2002), bagi orang yang
meneliti harta yang ada dalam kehidupan di dunia ini, maka setelah melakukan
penelitian tersebut pasti akan menemukan bahwa harta ada hanya tiga macam,
yaitu: tanah, harta yang diperoleh melalui pertukaran barang dan harta yang
diperoleh dengan cara mengubah bentuknya dari satu bentuk menjadi bentuk yang
lain. Dari sinilah, sesuatu yang lazim digunakan oleh oranguntuk menghasilkan
harta atau mengembangkannya adalah pertanian, perdagangan, dan industri. Jadi mekanisme
untuk meningkatkan kepemilikan seseorang atas harta inilah yang menjadi topik
pembahasan dalam sistem ekonomi. Sedangkan pertanian, perdagangan dan industri
adalah uslub dan faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan
harta. Oleh karena itu, hukum-hukum yang terkait dengan pertanian, perdagangan
dan industri itulah yang sebenarnya menjelaskan mekanisme yang digunakan
seseorang untuk mengembangkan kepemilikannya terhadap harta tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar