Dirikan
Negara Dirikan Solidaritas: Politik Dalam Perspektif Ibn Khaldun
Berbicara tentang politik tidak lepas dari konsep
negara dan kekuasaan. Dalam KBBI tahun 2008, Negara diartikan sebagai
organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan
ditaati oleh rakyat. Definisi lainnya yakni kelompok sosial yang menduduki
wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasikan di bawah lembaga politik,
mempunyai kekuasaan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan.
Sedangkan kekuasaan merupakan suatu kemampuan untuk menggunakan pengaruh
kepada orang lain; artinya kemampuan untuk mengubah sikap atau tingkah laku
individu atau kelompok.
Polemik negara dan kekuasaan menjadi diskursus utama
dalam ilmu politik dan meruncing hingga abad ke-20. Polemik tersebut berkisar
pada persoalan mana yang harus didahulukan untuk mencapai tujuan politik---Apakah
dengan mendirikan negara sebagai sebuah badan struktural yang membenahi
kebijakan sosial ataukah dengan menanamkan kekuasaan sebagai basis pengaruh
dalam sebuah idealisme. Beberapa sarjana ilmu politik kontemporer memiliki
perbedaan persepsi terhadap titik sentral dalam kajian ilmu politik. Pendapat
pertama, menyatakan bahwa pusat kendali ada pada negara dalam artian bahwa
negara sebagai titik poros dalam mencapai tujuan. Selain itu, negara adalah
satu-satunya organisasi (par excellence) yang pernah diciptakan manusia.[1]
Jika ditelusuri dari segi keanggotaannya, negara merupakan organisasi yang
memiliki badan struktur sehingga mampu melegitimasi dan mengeluarkan kebijakan
serta mengintegrasi beberapa kepentingan politik. Pendapat kedua, konsep
kekuasaan dianggap paling penting dan dominan dalam mencapai tujuan. Kekuasaan
menjadi inti pokok permasalahan sedangkan negara menurut pandangan bebarapa ahli
adalah hanya sebagai wadah atau kulit terluar dalam mencapai tujuan. Dari kedua
pendapat bersebrangan tersebut, sejarah perkembangan ilmu politik
memperlihatkan bahwa konsep negara merupakan konsep paling dominan yang sering
dikaitkan dalam politik namun sejalan dengan perkembangannya yang dimulai sejak
abad ke-20, mulai muncul perubahan
diskursus bahwa ilmu politik berubah pembahasan dari ilmu negara menjadi ilmu
kekuasaan. Pertanyaan terpenting adalah bagaimanakah pandangan Islam dan
sejarah Islam dalam memandang realitas konsep kekuasaan dan negara dalam
mencapai tujuan?. Hal yang menarik untuk dianalisis adalah bagaimana proses
politik Islam hingga mampu menancapkan pengaruh sampai dua pertiga dunia? Bagaimana
pula proses politik Islam yang dimulai sejak hijrah Nabi Muhammad SAW mampu
mewujudkan Madina state? Politik kenegaraan atau politik kekuasaan?
Konsep negara dan kekuasaan di dalam politik Islam
tidak bisa dipisahkan, tidak seperti yang terjadi di Eropa. Politik Islam
merupakan politik yang berbasis teokrasi. Hubungan keduanya bak sisi mata uang
yang saling bersinergis dan bernilai. Berdirinya negara membutuhkan kekuasaan
begitu pula sebaliknya. Agama sebagai penancap legitimasi kekuasaan
membutuhkan negara sebagai institusi yang mampu menaungi kepentingan dan
kebutuhan manusia. Para teoritis politik Islam klasik mengkaitkan persoalan
negara dengan kepentingan realitas kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan
spiritual yakni kebutuhan untuk bekerjasama mencakup solidaritas kemasyarakatan
dan ibadah. Ahli politik Islam pula melihat negara sebagai representatif hasil
rasionalitas masyarakat untuk melaksanakan din (agama). Din
merupakan kata yang menunjuk pada solidaritas sesama muslim dan kesetiaan pada
wahyu.[2]
Hubungan negara dan kekuasaan di dalam
Islam tidak lepas dari konsep manusia. Dalam hal ini manusia melakukan
interaksi secara berkoloni baik untuk kebutuhan sosial maupun kebutuhan
spiritualnya. Ukhuwah Islamiyah atau konsep persaudaraan Islam yang
didengungkan sejak masa kenabian dirasa menjadi titik pusat dalam menganalisis
konsep negara atau kekuasaan. Jika kita meneliti kembali kepada sejarah
kelahiran Islam di Mekah (berlangsung selama 13 th) dan Madinah (10 th) hingga
terbentuknya negara pertama yakni Madina-state, kita akan mampu mengambil
strategi politik yang dilakukan Nabi sehingga mampu menanamkan pengaruh begitu
besar di dunia Arab. Analisis penulis terkait konsep awal kuatnya politik Islam
sehingga memunculkan Madina-state sebagai negara ideal yakni berasal
dari kekuasaan. Jika diteliti lebih lanjut bahwa konsep kekuasaan didasarkan
pada sebuah jalinan persaudaraan yang terbentuk sehingga membentuk solidaritas
bersama dan melahirkan kekuasaan absolut. Piagam Madinah merupakan konvensi seluruh
warga Madinah, tidak hanya diakui oleh muslim, Anshar dan Muhajirin saja tetapi
juga Yahudi dan Nasrani sebagai warga yang dilindungi dalam Madina-state.
Sikap Nabi yang demokratis inilah menjadikan solidaritas kian menguat. Sikap
solidaritas yang dimaksud bukanlah mencampurkan imanen menjadi satu seperti
yang dilakukan di zaman modern namun isu bersama dan keamanan nasional yang
menjadikan Islam, Yahudi dan Nasrani
mampu hidup berdampingann dan bersinergi dengan catatan tidak adanya intervensi
yang merusak tatanan nilai keyakinan. Konsep solidaritas inilah yang menurut
Ibn Khaldun, seorang filsuf dan bapak sosiolog muslim yang hidup di abad ke-14
M yakni zaman kemunduran Islam disebut sebagai konsep ashabiyah.
Ashabiyah dalam pandangan Ibn khaldun tentu berbeda dengan konsep ashabiyah
yang sekarang yang telah mengalami konotasi negatif yakni fanatisme. Konsep ashabiyah
Ibn Khaldun pada awalnya muncul sebagai akibat penafsiran dari salah satu
karakter yang diajukan untuk memimpin kekhilafahan yakni harus berasal dari
suku Quraisy (pembatasan suku tertentu). Ibn khaldun berusaha menafsirkan suku
Quraisyan itu melalui konsep ashabiyah, yakni solidaritas bukan tafsiran
leksikal melainkan metafora atau majas. Ibn Khaldun mengemukakan pula pandangan
yang umum terdapat dalam pemikiran politik yang berasal dari Yunani kuno, bahwa
manusia itu pada dasarnya adalah makhluk politik (Zoon Politicon). Artinya
mereka harus hidup bermasyarakat dalam sebuah kota atau negara.[3]
Dalam Muqaddimah Ibn Khaldun disebutkan bahwa untuk menegakkan
dinasti, kerajaan, khilafah, pangkat pemerintahan dibutuhkan solidaritas yang
kuat dan solidaritas yang kuat berasal dari agama bukan kepentingan posisi
jabatan dan gerakan agama tanpa solidaritas sosial tidak akan pernah berhasil.
Besarnya suatu negara, luas daerahnya dan panjang usianya tergantung kepada
kekuatan pendukungnya yang memiliki kesamaan orientasi---Ambisi posisi jabatan
dirasa akan tereduksi dengan adanya tujuan agama yang sama yakni mensiarkan
kebenaran dan mencapai kemaslahatan umat. Dan hal tersebut tidak akan berhasil
jika solidaritas sosial tidak mendapatkan ruang berdaulat dalam kenegaraan
yakni sebuah lembaga terhormat yang memiliki hak kuasa dan menguasai rakyat
melalui kekuatan persenjataan dan militer yang jitu. Jadi pada intinya bahwa solidaritas
yang kuat, agama, kedaulatan yang terhormat dengan militer yang jitu adalah
tiga hal yang digunakan untuk mencapai tujuan dan diperlukan untuk mendirikan
negara yang kokoh sehingga Madina-state sebagai role model pemerintahan
Islam akan berdiri kembali di zaman modern ini.
Satu hal yang harus direnungkan dalam tulisan ini
yakni sebuah sikap politik Ali bin Abi Thalib dalam melegitimasi kekuasaan
dengan tanpa menjadikan agama sebagai bahan olokan politik.
“Kita membangun
dunia dengan merobek-robek agama, tak agama kita bersisa tak juga bangunan
kita.” (Muqaddimah Ibn
Khaldun, hal. 257).
Artinya
gunakan agama secara proporsional; bukan sebagai alat politik untuk mencari
kekuasaan semata dan berakhir pada kehancuran dan runtuhnya kewibawaan negara
namun sebagai alat untuk menguatkan identitas dan kemaslahatan berbangsa dan
bernegara tentu dengan tujuan yang lebih jelas. Selain itu cermati pernyataan
Abu Shakhar jika dikaitkan dengan fenomena kekinian politik Islam yakni:
Saya heran atas perjuangan massa
di antara daku dengannya
begitu perjuangan berhenti
masa pun jadi leha-leha
Larik-larik tersebut mengisaratkan
bahwa terjadi dekadensi yang mengakibatkan hilangnya kultur dan ruh politik
dalam Islam. Ashabiyah yang menggebu dengan tanpa ilmu dan tujuan tentu
akan bermasalah dan hanya meninggalkan cacat baik bagi tujuannya maupun
pejuangnya. Hal inilah yang harus menjadi titik cermat kita sebagai calon
pemimpin negara. Harus ada resolusi untuk menanggulangi krisis politik di dalam
Islam dengan cara mendirikan negara melalui solidaritas sosial dengan landasan
yang kuat dan orientasi yang jelas sehingga Madina-state yang diharapkan
akan terekonstruksi kembali di zaman modern ini.
Referensi
v Ahmadie (Penj.). 2000.
Muqaddimah Ibn Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus
v Huntington, Samuel P. 2003. Prajurit
dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sosial. Jakarta: Grasindo
v Kamil, Sukran Prof. Dr. 2013. Pemikiran
Politik Islam Tematik: Agama Dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah Dan
HAM, Fundamentalisme, Dan Antikorupsi. Jakarta: Kencana Prenada Media
v Zainuddin, A. Rahman. 1992. Kekuasaan
Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
v Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2009.
Identitas dan Problem Politik Islam. Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam
Vol. V. No. 2
[1] A.
Rahman Zainuddin, Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 4
[2]
Prof. DR. Sukron Kamil, M.A., Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan
Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalisme, dan
Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 5
[3] Op. Cit., 77
0 komentar:
Posting Komentar