Ad-Dimasqi’s treatise on fungtions of money.
Kini
hampir setiap orang dengan segala kepemilikan akan suatu benda, lebih dari
sekedar pakaian yang dikenakannya, umumnya memiliki sejumlah uang. Dari semua
bentuk kekayaan, uang adalah yang paling luas peredarannya; di dalam sistem
ekonomi modern, tentunya, praktis tidak mungkin hidup tanpa menggunakan uang.
Karakteristik penting dari ekonomi modern yang kompleks adalah
"kekhususan" atau spesialisasi. Seiring berjalannya perkembangan ekonomi,
orang cenderung untuk menghasilkan uang lebih dan lebih banyak lagi dengan
melakukan pekerjaan-pekerjaan khusus dan bergantung pada kemampuan untuk
membeli barang-barang dan jasa yang mereka gunakan namun tidak mereka hasilkan.
Proses spesialisasi ini, yang dikenal sebagai divisi pekerja, memungkinkan
efisiensi yang lebih besar dan juga standar hidup lebih tinggi sebagai
konsekuensinya; namun spesialisasi hanya mungkin terjadi ketika uang digunakan
sebagai media pertukaran.
Uang, pada kenyataannya, adalah pelumas ekonomi pasar
modern. Tentu, manusia masih mungkin hidup tanpa uang. Misalnya di
masayarakat-masyarakat pedalaman (Badui, Anak Dalam, dsb). Tingkatan lebih
tinggi dalam kompleksitas ekonomi terjadi dalam ekonomi yang tidak memiliki
uang, namun mempraktekkan pertukaran pemberian atau barter. Secara utuh,
pertukaran pemberian terjadi dalam sebuah komunitas beberapa keluarga, barter
antara kelompok-kelompok eksternal. Kedua praktek tersebut mengijinkan
tingkatan spesialisasi yang luas. Kesulitannya adalah mengembangkan sistem
pertukaran pemberian kepada sejumlah banyak orang yang terlibat dalam suatu
ekonomi modern yang kompleks adalah bahwa pertukaran-pertukaran seperti itu
bergantung pada hubungan-hubungan yang dipelihara baik untuk memastikan respon
timbal balik pada akhirnya; sementara kesulitan dalam barter adalah bahwa hal
itu melibatkan pertukaran langsung sebuah komoditas untuk komoditas yang lain.
Di luar itu, seperti halnya keluarga adalah unit ekonomi yang penting dalam
masyarakat industri yang kompleks, maka pertukaran pemberian (antara individu,
keluarga-keluarga, atau bahkan kelompok-kelompok besar) dan barter (antar
bangsa) beroperasi pada skala yang terlalu besar untuk diabaikan. Sangat
mungkin untuk sebuah ekonomi modern untuk tetap berjalan pada basis
tangan-ke-mulut hanya lewat barter saja. Hal ini kenyataannya terjadi di Jerman
dalam suatu waktu setelah Perang Dunia II, ketika sistem moneter biasa terhenti
secara keseluruhan. Sangat aneh, ketika hal ini terjadi suatu jenis uang baru
mulai mendapatkan tempat: rokok. Orang akan menerima rokok sebagai pembayaran,
bukan karena mereka ingin merokoknya namun karena mereka tahu mereka dapat
menggunakannya untuk membeli benda-benda lainnya. Perkembangan yang sama persis
pasti telah terjadi dalam evolusi sistem-sistem moneter primitif pertama kali.
Medium pertukaran bukanlah, tentu saja, rokok, namun cangkang kerang, atau emas
atau perak. Nelayan mungkin telah datang ke pasar untuk menukar ikannya, namun
tidak untuk membarterkannya untuk, katakanlah, mantel bulu, atau memberikannya
dengan maksud mereka akan mendapatkan mantel bulu di kemudian hari, mereka akan
menerima perak, yang mereka tahu dapat mereka tukarkan dengan sesuatu yang lain
yang mereka inginkan. Semua karakteristik ini dimiliki sampai dengan skala yang
lebih luas oleh uang modern, terutama koin emas dan perak dan uang kertas.
Namun uang bukan hanya media pertukaran. Uang juga adalah salah satu cara
bagaimana orangmemiliki kekayaan mereka. Tentunya, ada banyak cara untuk
memegang kekayaan – contohnya memiliki tanah, saham dan kepemilikan, atau
mesin. Namun uang merupakan posisi yang istimewa. Uang adalah simpanan kekayaan
sekaligus merupakan media pertukaran.
Ad Dimasqi
Dalam Memori
Abul
Fadhl Ja’far bin Ali ad-Dimasqi (w. 570/1175) adalah seorang ulama ekonom besar
yang hidup antara abad 5 dan 6 hijriah. Ia hidup di Tripoli, dulu merupakan
bagian dari wilayah Syam, dan kini masuk wilayah Libanon. Dilihat dari
tulisannya ada isyarat bahwa selain sebagai ulama pemikir dalam bidang ekonomi
dan perdagangan, ia juga adalah seorang pelaku bisnis. Warisan intelektualnya
yang ada sekarang adalah buku ilmiah yang berjudul “al-Isyarah ila Mhasinit
Tijarah”. Buku ini
berbeda dari buku-buku yang ditulis oleh ulama sebelumnya secara umum. Buku ini
tidak membahas dalil-dalil keuangan publik seperti yang dikodifikasikan oleh
Abu Ubayd dan Yahya bin Adam, melainkan lebih menyerupai buku yang ditulis oleh
penulis modern di bidang ekonomi dan perdagangan. Oleh karena itu, rasa-rasanya
akan terlihat sulit untuk mencari perbedaan akar pemikiran Dimasqi dengan para
pemikir ekonomi modern yang telah dikenal oleh masyarakat ekonomi di dunia
dewasa ini. Justru, temuan-temuan yang ada dalam bentuk teori, hampir semua
model penjelasannya sudah dijelaskan Dimasqi.
Uang dalam pandangan Ad Dimasqi dan Konvensional
Dalam pandangan beliau mengenai uang adalah didasarkan
pada sebuah pengamatan yang realistis yang terjadi. Di zaman dahulu, uang disamakan dengan nilai sebuah
barang, dalam kata lain perdagangan yang terjadi adalah dengan transaksi
barter. Dimana suatu barang dengan barang lainnya dipertukarkan dengan
ukuran/nilai yang sama. Dan ini terjadi alamiah, disaat uang masih belum
terpikirkan dalam bentuk logam dan kertas. Kebutuhan manusia yang tak sama satu
dengan lainnya, menyebabkan terkadang menyebabkan sebuah transaksi gagal.
Misalkan si A menginginkan barangnya dipertukarkan dengan garam, sedangkan si B
menginginkan barangnya dipertukarkan dengan batu bata. Meskipun ada pasar
barang saat itu, tetapi pemenuhan itu semua tidak lantas terjadi pertukaran
dengan mudah, karena suatu factor dimana batu bata saat itu sulit dibuat
disebabkan kesulitan mencari material lempung. Begitu sebaliknya yang terjadi
pada garam. Hal inilah yang akhirnya timbul teori, bahwa terjadinya pertukaran
barang (barter) harus ada fenomena double
coencidance of wants, harus ada kebutuhan yang sama antara dua orang yang
menginginkan barangnya untuk dipertukarkan. Tanpa persyaratan ini tidak mungkin
barter dapat dilangsungkan. Inilah pandangan pertama Dimasqi mengenai uang.
Beliau (Dimasqi) sudah menyadari dari awal, bahwa
diperlukan barang perantara yang disebut uang sebagai alat tukar. Oleh karena
itu, menurutnya, dan ini nantinya akan selalu digunakan teori ini dewasa ini,
salah satu fungsi uang yang paling fundamental adalah sebagai medium of exchange atau sebagai alat
tukar.
Dalam
islam, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu
komoditas (suatu yang harus diperdagangkan/diperjualbelikan) dengan kelebihan
baik secara on the spot maupun bukan.
Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan
untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan
diperlukan untuk membeli barang lain yang sehingga kebutuhan manusia terpenuhi.
Inilah yang dijelaskan Al Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang didalam
substansinya tidak ada manfaatnya atau tujuan-tujuannya. (Al Ghazali adalah
ulama pemikir yang terlebih dahulu sebelum Dimasqi).
Hal
ini berbeda jelasnya dalam pandangan konvensional. Tidaklah uang itu hanya
digunakan sebagai medium of exchange belaka, namun uang dalam pandangan
kepitalis adalah komoditas, dapat diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the
spot maupun secara tangguh. Lebih jauh, dengan cara pandang demikianm maka uang
juga dapat disewakan (leasing). Efeknya adalah kelebihan yang menurut para
ulama fiqh dan islam sendiri memandang, bahwa kelebihan tersebut adalah riba.
Ketika
uang diperlakukan sebagai komoditas oleh sistem kapitalis, berkembanglah apa
yang disebut pasar uang. Terbentuknya pasar uang ini menghasilkan dinamika yang khas dalam
perekonomian konvensional, terutama pada sektor moneternya. Pasar uang ini
kemudian berkembang dengan munculnya pasar
derivatif, yang merupakan turunan pasar uang. Pasar derivatif ini
menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari produk-produknya. Sedangkan
motif transaksi tidak didasarkan pada motif transaksi riil, tetapi spekulkatif.
Maka tak heran jika perkembangan di pasar moneter konvensional begitu
spektakuler. Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume
transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah US$ 1,5 trilyun hanya
dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia
di sektor riil US$ 6 trilyun setiap tahun. Dalam empat hari transaksi di pasar
uang , nilainya menyamai transaksi di sektor riil selama satu tahun. Inilah
yang kemudian menciptakan suatu kondisi perekonomian gelembung (bubble economics), suatu kondisi yang
melibatkan transaksi keuangan yang besar sekali, namun sesungguhnya tidak ada
isinya karena tidak dilandasi transaksi riil yang setara.
Berikutnya,
menurut ad-Dimasqi, beliau menyadari bahwa uang berfungsi sebagai standard of value (alat untuk menilai
suatu barang). Yang juga dimengerti dan disadari sepenuhnya oleh pelaku transaksi.
Analoginya adalah, ketika terjadi pertukaran barang (konstruksi barter) antara
garam dengan beras, maka nilai berapa gram garam dinilai oleh ukuran yang
pantas dengan berapa gram beras.
Pengukuran
ini bisa dilihat dari berbagai macam faktor tentunya, bagaimana kemudahan/kesulitan
memperolehnya? Bagaimana kemudahan/kesulitan dalam proses produksinya? dsb.
Berbagai macam faktor inilah yang menimbulkan pengukuran bobot nilai suatu
barang. Bisa jadi karena pertanyaan diatas, nilai beras menjadi lebih mahal
karena kelangkaannya, bisa jadi beberapa waktu kemudian garam yang mahal karena
kelangkaannya. Kelangkaan (scarcity),
adalah fenomena yang pun menjadi penjelasan dalam teori Dimasqi untuk
menjelaskan tentang nilai suatu barang. Beliau menjelaskan ini jauh sebelum
Adam Smith dalam kebingungannya untuk menjelaskan Paradoks Water Diamond. Dalam
pandangan kaum marginalis, air memang melimpah ruah dan memang sangat
bermanfaat bagi manusia dan kehidupannya. Tetapi nilai suatu barang dan harganya tidaklah
semata-mata ditentukan oleh manfaat dari benda itu sendiri. Ada aspek lain yang
jauh lebih penting dari sekedar “manfaat”, yaitu ‘nudrah’ (kelangkaan dalam
istilah ad-dimasqi).
Dimasqi dalam bukunya al-Isyarah: Sesungguhnya batu akik termasuk batu mulia yang sangat indah kalau
bukan karena banyaknya. Justru karena banyaknya batu akik itulah yang
menyebabkan harganya berkurang sekalipun memiliki sifat keindahan yang dicari.
Jika batu akik itu demikian halnya, maka batu-batu mulia yang lainnya pun
memilliki persoalan yang sama, yaitu mereka menjadi mahal dan tinggi harganya
karena kelangkaan sumber-sumbernya.
Sekalipun ad-dimasqi hanya menggunakan batu mulia
sebagai media penjelasannya, namun inti pemikirannya tentang persoalan paradoks
nilai telah sangat membantu para ahli memecahkannya dengan baik dan dapat
diterima secara ilmiah. Ad-dimasqi sesungguhnya bukan yang pertama menguraikan
teka-teki ilmiah ini, para ulama sebelumnya pun sudah banyak mengupas hal yang
sama seperti al Ghazali dan lain-lain. Kelebihan ad-Dimasqi adalah dalam
menjelaskan konsep marginalisme ini adalah ia telah melibatkan penggunaan
matematika yang sangat sophisticated
dan basis analisisnya menyentuh hampir seluruh konteks ekonomi.
Unit of
Account. Ad-Dimasqi pun telah memahami
bahwa uang juga befungsi sebagai alat satuan hitung. Seperti telah dijelaskan
di awal, bahwa ad-dimasqi telah menggunakan konsep matematis dalam menjelaskan
marginalitas. Bahwa sesungguhnya, bisa dipastikan dia menyadari betul, uang mempunyai
angka varian yang mempunyai satuan
hitung tersebut dipergunakan dalam accounting
oleh si penulis (seperti yang diperintahkan Allah swt dalam surat Al Baqoroh
ayat 285), bahwa setiap transaksi yang terjadi maka diperintahkannya untuk
ditulis, penulisan inilah yang dalam konteks riil disebut hitung.
Ad-Dimasqi
menjelaskan bahwa sejak dahulu manusia telah mempergunakan uang dalam kehidupan
ekonomi mereka. Namun bentuk uang senantiasa berubah dari satu bentuk kepada
bentuk lainnya. Yang mula dipergunakan adalah tanaman, lalu hewan, dan logam.
Penggunaan mata uang logam terutama emas dan perak ini berlangsung ribuan tahun
hingga beberapa abad terakhir.
Dalam
bukunya al Isyarah, beliau
menyimpulkan, bahwa sebuah logam yang berfungsi sebagai mata uang harus
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Ia harus dapat dibentuk atau dicetak
2. Dapat dipecah menjadi bagian
kecil-kecil
3. Tidak (cepat) rusak
4. Dapat dibawa kemana-mana
5. Memiliki bentuk dan rupa yang
indah.
6. Ra’ijah: dapat diterima secara umum dan mendapat
kepercayaan dari masyarakat
Secara umum, teori ini tidaklah jauh berbeda dalam
pandangan ekonomi modern saat ini. Justru tampilan yang diberikan dalam
pandangan ad-Dimasqi jauh lebih rinci menguraikannya. Dan banyak dijadikan
referensi para ahli ekonomi modern masa ini.
0 komentar:
Posting Komentar